BAB XV: GADIS PELARIAN

Di suatu tempat yang tidak aku ketahui
Seorang wanita tampak duduk ragu. Di tangannya tergenggam sebuah PokeBall.
”Aku mendengar Orb Biru telah didapatkan,” dia bicara sendiri. ”Aku tak bisa tinggal diam. Sekarang saatnya aku bertindak. Sekarang saatnya membalas perbuatan mereka.... sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap kotaku!”

”Aku mendengar Orb Biru telah didapatkan,” dia bicara sendiri. ”Aku tak bisa tinggal diam. Sekarang saatnya aku bertindak. Sekarang saatnya membalas perbuatan mereka.... sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap kotaku!”

*
Kita kembali ke Magmarine....
Maxie duduk di ruang kerjanya dengan wajah kesal. Di depannya tampak Tabitha berdiri menunggu ucapan dari sang pemimpin.
”Aku tak menduga kalau Badut adalah mata-mata, apalagi kenyataan bahwa dia adalah keponakan Archie. Kita benar-benar telah tertipu mentah-mentah,” ujar Maxie.
”Badut memang menjalankan tugasnya sebagai mata-mata dengan sangat baik,” sahut Tabitha, ”dia berhasil membaur dengan kita dan berhasil menunjukkan kalau dia adalah anggota yang loyal. Dia bahkan terpilih sebagai anggota regu elit.”
”Jadi kau memujinya?” tanya Maxie sambil mendelik.
”Ah, tidak begitu... ” elak Tabitha cepat. ”Saya hanya....”
”Tak apa, dia memang hebat dalam hal penyamaran,” potong Maxie melihat ketakutan di wajah anak buahnya itu. ”Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana mendapatkan orb merah itu kembali. Sekali benda itu jatuh ke tangan Tim Aqua, akan sangat sulit untuk merebutnya kembali.” Maxie tiba-tiba beranjak berdiri. ”Tapi di luar itu, kita harus mulai menyelidiki kembali setiap anggota kita. Aku tidak mau kecolongan lagi seperti pada kasus Badut. Tabitha, tolong kumpulkan semua data anggota, aku ingin memeriksanya.”
”Baik, Tuan Maxie,” jawab Tabitha cepat.
”Satu lagi Tabitha.” Tabitha baru saja akan berbalik saat Maxie mengatakan itu. ”Tolong panggilkan L dan Flame ke sini. Ada tugas baru untuk mereka.”
”Tugas?” Tabitha terhenyak kaget. ”Pemberian tugas di saat mereka sedang sedih karena dikhianati oleh Badut?”
”Apa ada masalah mengenai itu?” Maxie melotot ke arah Tabitha. “Sebenarnya siapa sih pemimpin disini?”
”Ah, iya, maafkan saya Tuan,” jawab Tabitha gugup. ”Baiklah, saya akan memanggilkan mereka berdua.”
Tabitha lalu berbalik dan keluar dari kabin Maxie. Maxie membuang nafas panjang saat anak buah yang paling dipercayainya itu keluar dari ruangannya.
”Makin lama tingkah anak buahku semakin aneh saja,” bisiknya lirih seraya kembali duduk di kursinya.
*
Aku tengah berjalan menuju ke kabin kamar Flame. Setelah mendapat panggilan dari Maxie yang disampaikan oleh Tabitha, aku berniat mengajak Flame sekalian. Tinggal dia saja rekanku di grup G setelah Volta alias Badut itu mengkhianati kami. Sesampainya di depan kabin Flame, aku pun segera mengetuk pintu.
”Siapa itu?” tanya Flame dari dalam.
”Ini aku, L,” jawabku pelan.
”Buka saja pintunya, tidak dikunci kok.”
Aku membuka pintu kabin Flame dan masuk ke dalamnya. Baru kali ini aku masuk ke kabin Flame yang tampak begitu rapi dan wangi itu, walaupun sama-sama kecil seperti kabin anggota yang lainnya.
Kulihat Flame tengah terduduk di tempat tidur sambil memegang sesuatu di tangannya. Dia tidak mengenakan rompi merah grunt seperti biasanya, hanya rok dan kaos hitam grunt wanita. Kami memang tidak memakai rompi merah di dalam kamar. Akan terasa sangat panas bila kami memakai rompi tebal itu di dalam kabin yang sempit.
”Ada apa kau mencariku?” tanya Flame kemudian.
“Maaf mengganggumu, tapi tuan Maxie memanggil kita berdua,” jawabku. Aku kemudian memperhatikan benda yang dipegang oleh Flame dan mendapati kalau benda itu adalah sebuah bingkai kecil dengan fotoku, Flame, dan Volta saat berlibur di kota Lilycove.
“Kau masih memikirkan dia?” tanyaku ingin tahu. Aku lalu mengambil bingkai itu dari tangan Flame dengan lembut. Kuamati foto yang dipotret oleh seorang fotografer bernama Todd itu.
”Iya, aku masih memikirkannya,” jawab Flame polos. ”Akan sulit bagiku untuk melupakan orang seperti dia.”
”Apa kau menyukainya?” tanyaku penasaran. Flame terlihat begitu sedih dengan kepergian Volta, tentu wajar bila aku menanyakan hal itu.
Flame mengangguk lemah. ”Aku memang menyukainya, menyukainya sebagai seorang sahabat.”
”Sudahlah, lupakan saja dia,” sahutku. ”Dia telah mengkhianati kita bagaimanapun. Dia itu adalah mata-mata, musuh kita.”
”Tapi Badut....”
“Jangan memanggilnya dengan sebutan itu lagi,” aku memotong ucapannya dengan cepat. “Dia tak pantas dipanggil Badut. Seorang Badut menciptakan tawa, bukan menciptakan tangis. Lebih baik panggil dia dengan nama aslinya, Volta.”
Flame terdiam. Dia lalu berdiri mendekatiku dan mengambil bingkai itu perlahan dariku. Dilihatnya sekilas foto ketiga anggota regu G itu lalu dia melihat ke arahku.
“L, si Todd Snap itu benar-benar fotografer yang pintar ya?” ujarnya padaku.
“Pintar? Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
”Coba kau lihat ini.” Flame menunjukkan foto itu kepadaku. ”Todd meminta kita mengambil posisi seperti ini; Volta di tengah, kau di kanannya, dan aku di kirinya. Kau tahu apa maksudnya?” aku menggeleng tanda tak mengerti. Flame tersenyum lalu berkata, ”Coba kau baca tulisan yang ada di foto ini. Coba kau satukan setiap kata yang ada pada pakaian kita.”
Aku lalu mengamati huruf dan angka yang ada pada pakaian kami bertiga. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Flame. Tulisan pada pakaian kami bila dibaca dari kiri akan berbunyi, ”Friends For Ever – Sahabat untuk selamanya!”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...