
Aku duduk termenung di bukit tepian pantai di barat kota Petalburg. Seminggu telah berlalu semenjak pembicaraan dengan Steven dan keadaan nona Ester belum juga membaik, membuatku merasa sangat sedih. Aku terpikirkan ucapan Tuan Drake di rumah sakit waktu itu, yang membuatku merasa sangat bersalah.
”Sampai kapan kamu akan seperti ini terus?” tiba-tiba terdengar suara tua yang kukenali sebagai suara profesor Hurr. Aku menoleh dan memang itu profesor Hurr yang berdiri di depanku. Dia menghampiriku dan duduk di sampingku, ikut melihat lautan biru maha luas di depan kami. ”Aku mengkhawatirkanmu. Parmin bilang kamu ada disini, jadi aku kesini. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Sudah seminggu lamanya kamu seperti ini. Apa kamu masih terpikirkan kekasihmu itu?”

”Lalu bagaimana dengan pencarian kita? Apa kamu berhenti untuk mencari Groudon?” sahut profesor. ”Sejak berita serangan terhadap Spectra, tidak ada perkembangan mengenai pencarian kita karena kamu bersikap seperti ini terus.”
”Profesor, aku berpikir untuk berhenti mencari Groudon,” jawabku langsung ke pokok masalah.
”Kenapa? Apa yang membuatmu memutuskan berhenti menggapai impianmu untuk mendapatkan Groudon? Bukankah kamu bilang kalau Groudon adalah keinginanmu seumur hidup?”
”Profesor benar, tapi...” aku menghela nafas, ”....tapi apa gunanya mendapatkan semua impianku bila aku tidak bisa melindungi orang yang aku sayangi? Semuanya terasa kosong... mimpi-mimpi itu akan menjadi kosong....” Aku terdiam. Kukeluarkan selembar foto dari sakuku dan memandanginya erat. Itu adalah fotoku bersama nona Ester di pantai Slateport waktu itu. ”Aku merasa bersalah pada nona Ester,” lanjutku. ”Aku merasa bersalah padanya... dimana aku saat dia membutuhkan perlindunganku? Mencari Groudon? Mencari Groudon dan membiarkan orang yang aku sayangi berada dalam bahaya berhadapan dengan orang jahat yang tak segan-segan menyakitinya? Kekasih macam apa aku ini? Aku bahkan tidak tahu kalau dia seorang Elite Four. Aku malu pada diriku sendiri... aku benar-benar malu....”
”Apa kamu sudah selesai?” tanya profesor Hurr. Aku terdiam dan beliau tersenyum melihat ekspresiku. Aku tak tahu maksud senyumnya itu hingga dia berkata, ”Tenanglah Lunar, tenangkan dirimu. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, jadi aku sangat mengerti. Kamu tidak bisa menjadi pahlawan di setiap waktu, ada kalanya kamu menjadi pecundang. Setiap kita selalu ingin bisa melindungi orang yang kita sayangi, yang dalam kasusmu adalah seorang kekasih. Tak peduli apakah kita berhasil melakukannya atau tidak, yang terpenting adalah kita telah berusaha sekuat tenaga, dengan segenap kemampuan yang kita miliki untuk melindungi orang tersebut. Tahukah kamu apa yang diinginkan oleh orang yang kita sayangi pada diri kita?” Profesor melihat ke arahku, menantikan jawaban dariku. Saat aku tak kunjung menjawab, beliau melanjutkan, ”Yang mereka inginkan adalah melihat kita bahagia, dan salah satu kebahagiaan tersebut adalah apabila kita berhasil meraih impian kita. Disini aku yakin kalau Spectra akan sangat bahagia bila melihatmu berhasil meraih impianmu, mendapatkan Groudon. Terlebih kamu menginginkannya bukan untuk ambisimu semata, melainkan karena kamu ingin membantu seorang sahabat. Aku iri padamu, kamu begitu perhatian pada orang-orang tersebut, kamu harus bangga akan hal itu. Kepedulianmu adalah hal lebih yang kamu miliki, jarang ada orang seperti itu.”
”Be... benarkah?”
Profesor Hurr mengangguk. ”Benar, aku tak berbohong. Pikirkanlah sekali lagi. Kamu sudah sejauh ini, apakah kamu mau berhenti begitu saja dan membuang impianmu ini? Kudengar kamu punya sebuah janji pada seorang sahabat. Apa kamu mau mengingkari janji itu? Dan lagi, apakah kamu mau melihat Spectra bersedih karena kamu gagal dan berhenti saat kamu akan meraih impianmu? Spectra pasti ingin kamu berkembang, dan salah satu cara berkembang adalah melalui perjalanan... perjalanan dalam meraih impian.” Profesor Hurr berhenti bicara. Dia berdiri dari duduknya dan menatap laut biru di depannya. ”Lunar, setiap orang punya impian. Tak peduli apapun impian tersebut, yang terpenting adalah seberapa kuat seseorang dalam mewujudkannya. Kamu lihat lautan luas di depan... kamu lihatlah cakrawala disana. Banyak pelaut di masa lalu berupaya keras untuk bisa pergi ke batas cakrawala. Tapi apa yang mereka temukan kemudian? Mereka tidak pernah mencapai batas cakrawala, karena kemudian mereka tahu bahwa bumi ini bulat. Seberapa jauh mereka pergi, mereka akan kembali ke satu titik yang sama, yaitu titik dimana mereka memulainya. Kamu tahu apa artinya?” Profesor Hurr kembali melihat padaku, dan aku hanya menggeleng. Profesor tersenyum dan berkata, ”Artinya, tidak ada kata selesai dalam meraih impian... hanya kematian yang sanggup menghentikannya....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...