
“Sebenarnya hanya aku saja pengelola penginapan ini,” jawab Melona. “Charles, koki penginapan ini mengundurkan diri seminggu yang lalu karena dia harus menjaga cucunya di tempat yang jauh. Sejak itu aku sendirian mengelola penginapan ini, menjadi pelayan sekaligus koki, sekaligus pemilik penginapan Blue Sea. Aku sudah menulis pengumuman lowongan kerja untuk mencari pegawai baru, tapi sampai saat ini belum ada juga yang datang melamar. Bisa dibilang penginapan ini dalam keadaan krisis.
“Banyak hal berubah,” lanjut Melona. “Kunjungan wisatawan di kota ini semakin hari semakin berkurang, dan satu-persatu pegawai penginapan ini mengundurkan diri. Tapi nenekku tidak ingin menutup penginapan yang merupakan peninggalan leluhur kami ini. Beliau mempertahankannya sampai akhir hidupnya, dan setelah nenek meninggal, penginapan ini seperti kehilangan nyawanya. Nenek mewariskannya padaku, satu-satunya keturunan keluarga Bluesea yang tersisa. Mau tak mau aku harus menjaganya, mempertahankan penginapan ini sebisa mungkin, walaupun hanya aku seorang diri yang mengelolanya. Aku tak mau mengecewakan nenek, yang telah merawatku sejak aku masih kecil.”
“Memangnya orang tuamu kemana?” tanyaku menelisik.
“Kedua orang tuaku adalah pelaut, mereka pergi berlayar saat aku masih kecil dan tidak pernah kembali lagi. Ada yang bilang kalau keduanya hilang tertelan badai, tapi aku tak percaya itu. Keluarga Bluesea adalah keluarga pelaut yang hebat dan badai bukanlah masalah bagi mereka. Entah mengapa, aku yakin bila suatu hari nanti aku bisa bertemu kembali dengan salah satu mereka... mereka masih hidup... aku yakin itu...” raut wajah Melona berubah sedih dan kulihat air mata menetes di pipinya tapi langsung saja dihapus olehnya. “Sudahlah, bukan urusanmu. Sekarang sudah malam, beristirahatlah.”
Melona kemudian berbalik dan berjalan keluar kamar. Aku langsung berdiri dan berjalan mengikutinya. “Melona,” panggilku.
Dia menoleh. “Ada apa?”
“Ma... maafkan aku telah membuatmu sedih, seharusnya aku tidak...”
“Sudahlah, lupakan saja,” sela Melona. “Selamat malam.”
“Selamat ma... lam.”
Melona berjalan cepat di koridor. Dia terlihat sangat sedih. Ini salahku karena bertanya macam-macam. Aku tak menyangka kisahnya begitu menyedihkan... sama menyedihkannya dengan kisahku....
*
Rasa nyeri di lengan kiriku membuatku terbangun dari tidur. Kupegangi lenganku erat untuk beberapa saat hingga rasa sakitnya hilang. Rasa nyeri itu berasal dari bekas luka bakar saat aku berhadapan dengan Groudon waktu itu. Luka bakar itu memang sudah mengering, namun masih saja menimbulkan rasa nyeri sesekali. Aku tak heran dengan rasa nyeri ini karena... ah, sudahlah...
Aku bangkit dari tidurku, membuka jendela dan sinar matahari pagi langsung masuk menghangatkan tubuhku. Kuhirup udara lautan yang bersih, kurasakan begitu menyegarkan pikiranku. Ini baru namanya liburan.
Tanganku sudah memegang gagang pintu, berniat untuk membukanya saat mendadak aku teringat kejadian kemarin malam. Aku merasa bersalah karena membuat Melona bersedih, kupikir aku harus meminta maaf padanya. Tunggu dulu, aku terpikirkan sesuatu yang bisa kulakukan untuknya.
Kutelusuri koridor lantai atas yang begitu sepi, kupikir tidak ada pengunjung lain di penginapan ini selain aku. Melona benar, penginapan ini sedang dalam krisis. Aku turun ke lantai bawah dan menemukan Melona sedang membersihkan piring di balik meja panjang bar dengan sesuatu berwarna biru di bahunya.
“Selamat pagi Lunar,” sapa Melona saat menyadari keberadaanku.
“Way-Way-Way,” terdengar suara lain yang mengejutkanku.
“Oh, itu Wynaut,” kata Melona melihat keterkejutanku. Dia menunjuk sesuatu berwarna biru yang menempel di bahunya. Ternyata itu Pokemon! “Wynaut selalu mengikuti ucapanku menyapa pengunjung, tentu saja yang bisa diucapkannya hanya ‘Way-Way-Way’.”
“Oh, itu Pokemonmu?” tanyaku sambil memerhatikan Pokemon biru tak bertangan yang nyengir lebar di bahu Melona. Bagian kepalanya tampak menonjol seperti jambul, sekilas seperti jambul penyanyi rock terkenal. Telinganya menjulur panjang hingga kakinya yang kecil. Langsung kubuka PokeDex-ku untuk melihat datanya.

Wynaut, Pokemon berbinar. Bertipe sihir.
Seekor Wynaut suka makan makanan manis. Dengan cerdasnya dia memetik buah-buahan dengan menggunakan telinganya yang menyerupai lengan. Mereka berkumpul di taman buah, ditarik oleh wewangiannya.
Melona mengangguk. “Aku menemukannya saat terdampar di pulau ilusi, tak jauh dari kota Pasifidlog,” jelas Melona. “Ada banyak Wynaut disana, salah satunya terus-menerus menempel padaku, jadi kubawa saja dia pulang.”
“Pulau ilusi? Kau beruntung sekali bisa menemukan pulau itu,” kataku takjub. Seingatku tidak semua orang bisa melihat pulau yang misterius itu. “Kau harus menceritakan pengalamanmu itu suatu hari.”
“Ya, aku merasa sangat beruntung dan tenang saja, kita punya banyak waktu untuk bercerita,” sahut Melona ceria. Aku senang suasana hatinya sudah kembali seperti sedia kala.
“Oh ya Melon, ada sesuatu yang ingin aku katakan, kumohon kau mau menerimanya,” kataku kemudian.
“Katakan saja Lunar, seperti aku ini orang lain saja.”
“Begini, mendengar ceritamu kemarin, aku berniat untuk bekerja disini membantumu mengurus penginapan. Kupikir akan sangat merepotkan bila kau seorang diri mengurus penginapan sebesar ini, akan lebih baik bila ada yang membantumu dan kupikir orang itu adalah aku.”
“Kau serius?” tanya Melona terkejut.
“Iya,” aku mengangguk. “Sebenarnya saat ini aku menganggur dan sedang mencari kerja, ya kalau kau tidak keberatan aku ingin bekerja disini, aku ingin ikut mempertahankan penginapan ini.”
Melona terdiam. Dia tampak memikirkan permintaanku. “Baiklah, kalau kau mau bekerja disini membantuku, kenapa tidak? Kamu bisa jadi pelayan.”
“Yes! Akhirnya aku dapat pekerjaan!” seruku girang.
“Eits, tunggu dulu!” potong Melona. “Kau tahu sendiri kan bagaimana kondisi penginapan ini, jadi jangan harap aku akan menggajimu sesuai standar, tapi kupastikan kau akan makan enak dan tidur nyenyak.”
“Itupun tidak apa-apa,” sahutku. “Terima kasih Melona, aku merasa senang sekali.”
“Satu hal lagi, mulai sekarang kau harus memanggilku Nona, karena sekarang aku majikanmu.”
“Baik, itu tidak masalah, Nona Melona,” jawabku sambil menundukkan tubuh.
Melona tersenyum. Dia lalu mengulurkan tangannya padaku dan kami pun bersalaman. “Kita sudah sepakat.”
“Ya, Nona Melona... as you wish...”
“Way-Way-Way!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...