
Perlahan Melona menarik tubuhnya sehingga ciuman kami pun selesai sudah. Dengan tenang Melona menoleh ke arah Pin-Eye yang kelihatannya shock, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu puas sekarang, Nona Pin-Eye?” kata Melona pada Pin-Eye. “Kamu lihat sendiri kan betapa aku mencintai Lunar?”
“Ti... tidak mungkin... ini tidak mungkin!” jerit Pin-Eye histeris. Matanya tampak berkaca-kaca dan air mata mulai menetes, selanjutnya mengalir deras... “Aku... aku benci kalian!” Pin-Eye berbalik dan berlari keluar dari penginapan. Samar-samar kudengar suara tangisannya dalam derap langkahnya yang kacau. Dia menangis... gadis ninja itu menangis... kami telah membuatnya menangis...
“Pin-Eye!” panggil Jiken keras. Namun Pin-Eye tetap saja berlari di atas jembatan balok kayu kota Pasifidlog hingga suara derap langkahnya tak terdengar lagi. Jiken menggeram, lalu menatap ke arah kami berdua. “Aku tidak bisa memaksamu menikahi putriku... tapi aku sungguh kecewa dengan kalian berdua...” katanya dengan nada marah. “Lunar Servada... tadinya aku berharap bisa memiliki menantu yang kuat sepertimu... tapi kini setelah yang kamu lakukan pada putriku... aku tidak mau bertemu denganmu lagi... ini akan jadi pertemuan terakhir kita!” Dia lalu melihat ke arah anak buahnya dan berkata, “Kita pulang sekarang, kita kembali ke desa kita. Baru kali ini klan kita mendapat penghinaan seperti ini dan kita tidak bisa berbuat apa-apa!”
Seketika itu ninja-ninja itu bergerak cepat ke atas, berubah menjadi sekelebat bayangan hitam yang bergerak cepat ke atas dan hilang begitu saja... menyisakan seorang ninja yang bertengger di atas atap, di tepian lubang yang mereka buat.
“Lunar Servada... kamu memang lawan yang tangguh... tapi sayang sekali....” kata ninja itu yang tak lain adalah Jiken. Berikutnya dia ikut menghilang di kegelapan malam menyusul ninja-ninja lainnya. Aku dan Melona hanya terdiam melihat kepergian Jiken dan ninja-ninja itu.
“Pyuh... akhirnya mereka pergi juga...” kataku lega sambil menyeka keringat di dahi. “Nona Melona, terima ka...”
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat sangat keras di pipiku, membuatku sangat terkejut. Melona menamparku dan rasanya sakit. Dia menatapku penuh kebencian.
“Nona Melona... apa yang...”
“Lunar Servada, aku benci kamu!” teriaknya keras. Dia lalu berbalik dan berjalan cepat menaiki tangga ke lantai atas, meninggalkanku sendirian. Aku hanya bisa memandanginya pergi begitu saja sambil memegang pipiku yang masih terasa sakit karena tamparannya. Melona pasti marah sekali karena hal ini... tapi aku tidak punya pilihan lain...
*
Keesokan paginya tak kulihat Melona di ruang makan, padahal biasanya dia sudah berdiri di balik meja bar mempersiapkan minuman. Sepertinya dia masih di dalam kamarnya, mungkin dia masih marah padaku. Wajar saja dia marah setelah kejadian kemarin malam... aku jadi merasa bersalah padanya.
Perlahan aku kembali naik ke lantai atas dan mendatangi kamarnya, berniat untuk meminta maaf. Setibanya di depan kamar Melona, kuketuk pintunya pelan. “Nona Melona, ini aku Lunar,” kataku memberanikan diri. “Bolehkah aku masuk? Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin malam, tak seharusnya aku...”
Ucapanku terputus saat tiba-tiba Melona membuka pintu kamarnya. “Masuklah,” katanya pelan. Kulihat matanya sembab, sepertinya dia baru menangis.
“Kau tidak apa-apa Nona? Kau terlihat seperti menangis,” tanyaku cemas. Melona tidak menjawab. Dia melangkah ke jendela dan menatap keluar, memandang lautan luas yang terhampar disana.
“Kau yang membuatku menangis, apa kau tidak sadar?” tanya Melona tanpa mengalihkan pandangannya padaku.
“Maafkan aku Nona... maaf karena telah membuat Nona...”
“Sudahlah tidak apa-apa,” selanya. Dia lalu berbalik dan memandang wajahku. “Aku ikhlas menolongmu... aku tidak ingin kau terpaksa menikah dengan gadis yang tidak kau sukai.”
“Tapi kenapa kau menangis?” tanyaku tak mengerti.
“Itu karena aku terpaksa menciummu, dasar Lunar bodoh!” jawab Melona terdengar kesal. “Aku belum pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya dan bagiku itu sangat memalukan...”
Aku tersenyum. Kulihat pipinya bersemu merah. Perlahan kudekati dia dan kurangkul bahunya. “Para ninja tidak akan menceritakan hal itu, selain mereka tidak ada yang lain.”
“Lalu bagaimana dengan Pin-Eye?” tanya Melona. “Kulihat dia sangat mencintaimu, dia pasti masih penasaran. Aku khawatir dia bertindak nekat untuk bisa mendapatkanmu.”
“Karena itulah Nona Melona,” kataku memegang kedua bahunya dengan kedua tanganku. Kami kini saling berhadapan. “Untuk beberapa waktu ke depan, aku minta bantuanmu untuk bermain sandiwara bersamaku... bersandiwara sebagai sepasang kekasih. Bagaimana?” tanyaku menatap lekat mata Melona yang basah. “Aku tidak bisa melakukannya sendiri, tapi bila kau menolak juga apa-apa. Bagaimanapun ini adalah masalahku dan aku tidak mau melibatkan orang lain. Aku tak menduga Pin-Eye bisa bertindak seperti itu, padahal aku tulus membantunya.”
“Cinta bisa membuat orang lain melakukan apapun, Lunar...” sahut Melona. “Bahkan bisa membuat kita terpaksa berciuman.”
Aku tersenyum mengingatnya. “Jadi apa jawabanmu? Apa kau mau bermain sandiwara bersamaku?” aku mengulangi pertanyaanku.
Melona mengangguk pelan. “Kenapa tidak? Aku cukup ahli dalam sandiwara, apa kau tidak melihat aktingku kemarin malam?”
“Ya, sangat meyakinkan untuk aktris dadakan,” sahutku sumringah. Entah kenapa tiba-tiba aku memeluk tubuh Melona, membuat Melona terkejut namun dia tak berontak. “Melona Bluesea... kau pantas mendapatkan piala Oscar...”
“Way-Way-Way!!!” tiba-tiba terdengar suara Wynaut. Aku dan Melona menengok dan melihat Wynaut tengan tersenyum lebar membuka mulutnya.
“Tentu saja kami tak melupakanmu Wynaut,” kata Melona mengambil Wynaut dan meletakkannya di bahu kanannya. “Kamu yang terbaik!”
“Way-Way-Way!”
Kami pun tertawa bersama dibuatnya...
BAB XLII KRISIS NINJA DI PENGINAPAN
SELESAI
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...