
Di sebuah desa dengan hujan abu, tanpa aku tahu...
Seorang lelaki berpakaian ninja tampak membaca sebuah majalah di depan rumahnya. Dia membalik-balik halaman demi halaman majalah tersebut sampai kemudian pandangannya tampak tertarik pada satu halaman.
“Lunar Servada... kutemukan kamu...” Lelaki itu lalu berdiri, melangkah ke depan rumahnya dan berteriak keras. “Aku Bo-Jiken, pemimpin ninja desa Abu... aku memerintahkan semua ninja untuk bersiap... kita akan ke Pasifidlog!”
*
Kembali ke Pasifidlog
Tak bisa kupungkiri, strategi Melona Bluesea mengadakan jumpa penggemar itu benar-benar memiliki dampak besar pada kota Pasifidlog, khususnya pada penginapan Bluesea. Jumlah pengunjung kota semakin bertambah dan membuat hari-hariku menjadi semakin sibuk. Kini mereka tak hanya mencari si Pincang, tapi mereka juga ingin mencoba masakan Melona yang lezat.

“What? Menikah dengan pegawai malas ini? Yang benar saja! Itu tidak akan terjadi!” sahut Melona sambil memalingkan wajahnya dariku.
“Kau pikir aku mau menikah dengan Nona? Wanita kasar yang setiap hari mendobrak pintu kamarku? Siapa yang sudi?” balasku tak mau kalah.
Para pengunjung yang melihatnya langsung tertawa terbahak-bahak. Menyadari ulah kami membuat pengunjung terhibur, kami hanya saling tersenyum. Begitulah hari-hariku di penginapan ini bersama Melona Bluesea. Banyak hal terjadi dalam waktu yang singkat ini dan entah mengapa aku merasa bahagia. Aku jadi teringat pada Nona Ester, kekasihku yang telah meninggal dunia dalam tugasnya sebagai Elite Four. Aku ingat aku pernah mengalami hari-hari indah bersamanya. Dia sangat baik padaku walaupun sering menakutiku dengan Banette miliknya. Sayang, dia pergi begitu cepat... padahal aku begitu mencintainya...
“Apa yang sedang kau lamunkan Lunar?” tanya Melona membuyarkan ingatanku. Aku menoleh ke kanan dan kiri, menyadari bahwa hari telah malam dan kursi-kursi telah sepi dari pengunjung. Aku memang sengaja duduk-duduk santai di salah satu kursi setelah semua pekerjaanku selesai.
“Aku hanya teringat pada kekasihku,” jawabku jujur.
“Oh ya? Siapa dia dan dimana dia sekarang? Apa kau tak mengundangnya kesini?” cecar Melona ingin tahu.
“Dia sudah meninggal...” jawabku sedih.
Melona tampak terkejut mendengarnya. “Maafkan aku Lunar, aku tak bermaksud...”
“Tidak apa-apa... biasa saja,” sahutku pelan. “Namanya Ester Spectra, tapi aku biasa memanggilnya nona Ester. Dia seorang Elite Four.”
“Elite Four? Wow... dia pasti hebat sekali,” Melona berdecak kagum.
Aku mengangguk. “Ya, dia hebat sekali. Dia seorang diri melawan orang jahat... dan dia meninggal karenanya...”
“Aku ikut berduka Lunar,” kata Melona bersimpati. “Pasti berat bagimu melepaskan orang yang sangat kau sayangi, terlebih dia adalah kekasihmu yang sangat berarti bagimu.” Melona terdiam sejenak, menarik nafas panjang, dan melanjutkan ucapannya, “Aku iri padanya, dia memiliki kekasih yang sangat setia, yang masih memikirkannya walaupun dia sudah tiada. Andai saja Aaron seperti dirimu...”
“Memang seperti apa Aaron itu?” tanyaku jadi tertarik. “Bagaimana sikapnya padamu?”
“Dia kasar, benar-benar lelaki bajingan,” kisah Melona dengan berapi-api.
“Tampaknya kau kesal sekali dengannya.”
“Bagaimana tidak kesal?” Melona memukul meja dengan kerasnya hingga membuatku tersentak kaget. Dia betul-betul kesal dengan mantan pacarnya itu. “Dia itu ya,” sambung Melona, “Dia itu pengecut, meninggalkanku seorang diri di tengah hutan yang gelap, membuatku nyaris mati dibunuh sosok berjubah... untung saat itu kau datang menyelamatkanku.”
“Aku? Menyelamatkanmu?” tanyaku terkejut. “Seingatku aku hanya bertemu denganmu di gua Altering saat Aaron mengejarmu. Memangnya aku pernah menyelamatkanmu di tempat lain ya?”
“Ups!” mendadak Melona menempelkan telapak tangan kanannya ke bibirnya. “Lupakan saja... tidak penting,” katanya kemudian. Dia lalu berdiri dan dan melangkah menuju ke lantai atas.
“Tunggu Nona Melona, apa maksud perkataanmu tadi?” aku berdiri hendak menyusulnya saat tiba-tiba terdengar suara derap kaki yang begitu keras dari segala penjuru tempat. Suara itu berasal dari luar dan dari atap penginapan.
“Suara apa itu?” tanya Melona terkejut. Kami berdua langsung waspada dan secara reflek mendekatkan diri saling membelakangi. “Itu bukan suara air hujan, itu suara...”
“Langkah kaki!” potongku cepat. “Suasana ini... pernah aku rasakan sebelumnya... jangan-jangan...”
BRAK! BRAK! BRAK!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...