“Lama tak berjumpa, Lunar,” kata wanita itu yang tak lain adalah Flame. “Tak kusangka kita akan bertemu di atas kapal ini.”
Aku terdiam tak menyahut. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Aku bertemu kembali dengan Flame dan mengetahui bahwa dia sudah memiliki...
“Sepertinya baru kemarin kita berpisah di Slateport,” lanjut Flame. “Sepertinya baru kemarin kita terjebak di gunung Kanon...”
“Sudahlah, itu semua masa lalu,” akhirnya aku bersuara. “Tapi hal itu memang menyenangkan. Kenangan akan saat-saat itu terkadang menguatkan.”
Flame mengangguk sembari tersenyum. Senyuman indah yang lama tidak kulihat. “Aku selalu berharap bisa bertemu kembali dengan kalian... kau dan juga Volta. Dan tampaknya harapanku jadi nyata sekarang.”
“Jangan sebut nama itu Flame,” sahutku ketus. “Pengkhianat itu tak pantas disebut, apa kau lupa bagaimana dia membuatmu menangis?”
Flame tersenyum dan menoleh ke arahku. “Maafkan aku Lunar,” katanya pelan. “Bagaimanapun dia adalah sahabat kita, meski hal buruk telah dilakukannya. Ah... aku benar-benar merindukan masa-masa itu...” Flame lalu merunduk, meengelus Pokemon menyerupai kucing berbulu merah tebal di dekatnya. Dipeluknya Pokemon itu dan dia kembali berdiri. “Kau masih ingat Flareon inikan?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk mengiyakan. Flame tersenyum. “Tanpa bantuanmu aku dan Flareon ini takkan bisa berkumpul bersama seperti sekarang. Bantuanmu kala itu selalu kuingat.”
“Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang teman,” ujarku merendah.
“Mengenang masa lalu kita membuatku lupa menanyakan sesuatu. Bagaimana kabarmu Lunar? Apa yang kau lakukan setelah kita berpisah waktu itu?”
Aku terdiam, memikirkan jawaban yang tepat. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya karena itu akan...
“Aku bekerja,” jawabku setelah berpikir sejenak. “Aku bekerja di PokeMart Verdanturf dan kemudian di penginapan Pasifidlog. Bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Kau sendiri bagaimana? Apa yang kau lakukan?”
“Kau tidak bisa merendah seperti itu, bekerja adalah hal yang menyenangkan,” sahut Flame merespon jawabanku. “Kalau aku sendiri belajar banyak hal tentang perkapalan dan sesekali membantu kakekku di gym. Banyak hal terjadi padaku dan kuyakin banyak hal terjadi pula padamu.”
“Yeah, termasuk kalah di final liga Ever Grande,” kenangku sambil tersenyum kecut.
“Hei, kau si pincang dari kota Verdanturf itu? Tidak salah lagi, aku yakin sekali itu pasti dirimu,” sergah Flame bersemangat. Aku hanya mengangguk kecil untuk membuatnya bertambah senang. “Benar kan? Kau hebat Lunar! Berhasil mencapai final itu prestasi yang membanggakan. Aku bertaruh pada Flint bahwa si pincang itu adalah kau dan aku benar!”
“Flint ya...” desisku pelan. “Kekasihmu itu sepertinya orang baik.”
“Ya, dia baik sekali,” sahut Flame membenarkan. Tapi ekspresi wajahnya tampak datar. “Aku bertemu pertama kali dengannya di sebuah konferensi. Dia lelaki yang baik, walaupun sikapnya kadang mengesalkan.”
“Kalau benar demikian aku jadi senang. Aku senang kau mendapatkan kekasih yang baik hati. Kau harus tahu kalau aku akan senang bila melihatmu bahagia.”
Flame tersenyum. Dia lalu memegang bahuku. “Terima kasih Lunar, kau memang sahabat yang baik,” katanya pelan. “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Lelaki sepertimu pastilah mendapatkan kekasih yang baik pula.”
Aku mengangguk lemah. “Ya, dia wanita yang baik,” sahutku lemah. Mataku mulai berkaca-kaca. “Dia wanita yang baik hingga dia pergi meninggalkanku selamanya...”
“Dia meninggalkanmu? Kalau begitu dia bukan kekasih yang baik dong,” geram Flame. “Bisa-bisanya dia meninggalkan lelaki sebaik dirimu... dia tak seharusnya...”
“Dia sudah meninggal,” potongku, membuat Flame langsung terdiam. Tatapan matanya berubah sedih.
“Maafkan aku Lunar,” katanya merasa bersalah. “Aku tak tahu kalau dia...”
“Sudahlah, itu bisa dimengerti.” Aku memandang lautan biru dengan sayu. Kenangan akan Nona Ester kembali muncul di kepalaku. Setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Setiap kali teringat padanya aku selalu bersedih. Terkadang kupikir diriku adalah lelaki cengeng yang akan langsung menangis bila terkenang cerita cintanya yang tragis. Entahlah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...