SELAMAT MEMBACA!!!

Protected by Copyscape plagiarism checker - duplicate content and unique article detection software.

Kini blog ini fokus menayangkan fanfic Pokemon terpopuler di Indonesia, Servada Chronicles karangan L. Maulana atau yang akrab dipanggil Elite Four L.

PERHATIAN!
Sebagian gambar dan materi dalam blog ini diambil dari internet sementara sebagian lagi murni buatan Elite Four L. Elite Four L tidak akan mengklaim materi yang bukan miliknya. Dilarang mengkopi artikel dalam blog ini tanpa izin dari Elite Four L. Terima kasih.

Nama-nama dan karakter Pokemon adalah hak cipta dari Nintendo, GameFreak, Creatures Inc., dan Pokemon Company. Servada Chronicles adalah hak cipta L. Maulana / Elite Four L.

Rabu, 30 April 2014

Lunar's Diary: Eps.429 - Luapan Kekesalan

Episode 429: Luapan Kekesalan

“Menarik sekali Lunar… maksudku si Pincang,” ledek Volta. “Karena terakhir kali kita bertarung Pokemon… saat itu kamu kalah dengan menyedihkan!”
A…Apa kata Volta? Kalah dengan menyedihkan?
Aku terdiam. Segera saja aku teringat pertarunganku melawan Volta, saat Tim Magma menggelar pesta di Continent Magmarine, kapal selam yang menjadi markas Tim Magma setelah Gunung Chimney digerebek Ranger. Apa yang dikatakan Volta benar. Dalam pertarungan terakhirku melawan Volta, aku kalah telak. Tropius, Ninjask, dan Sandslash, semuanya kalah. Sangat ironis saat Sandslash, yang kala itu belum kuberi nama, bisa dikalahkan Electabuzz. Ditambah lagi kenyataan pahit, yang tak bisa kulupakan sampai saat ini. Bahwa Badut, bukan… tapi Volta… adalah pengkhianat.
“Ya, kamu benar,” sahutku mencoba tegar. “Kamu benar mengatakan aku menyedihkan, karena Pokemon tanah dikalahkan Pokemon listrik,” sambungku. Kutatap Volta penuh emosi, dan Volta membalas tatapanku dengan tampang meremehkan. “Tapi,” aku kembali bicara, “Tapi sebenarnya kamulah yang paling menyedihkan malam itu. Kamu…. Kamu membuat sahabatmu menangis!”
Akhirnya kukeluarkan juga kekesalan yang telah kupendam selama ini. Mendengar itu, kulihat ekspresi wajah Volta berubah. Dia tampak terkejut dengan apa yang kukatakan. Bukan hanya ekspresinya yang berubah, tapi suasana arena mendadak berubah lengang. Mungkin aku terlalu keras mengucapkannya, hingga para penonton mendengarnya. Kini, semua mata penonton melihat ke arahku!
“Dia!” seruku kemudian seraya menunjuk Flame yang berdiri di tengah-tengah kami. Flame tampak kaget dengan apa yang kulakukan. Mungkin, dia juga tampak kaget mendengar ucapanku barusan. Mungkin dia tak menyangka aku akan membuka kembali masa lalu kami dulu. Tapi sudah terlambat untuk menyesali apa yang sudah kuucapkan. Sudah terlambat untuk menghentikan pelampiasan kekecewaanku selama ini.

“Dia!” aku kembali mengulang ucapanku, dengan tangan mantap menuding ke arah Flame. “Dia yang kamu buat menangis… dua tahun yang lalu,” kataku sembari mendelik tajam ke arah Volta, yang kini tak berkutik. “Dia yang menganggapmu sebagai sahabat… dia yang sudah begitu percaya padamu… yang dibelanya mati-matian…. kemudian kamu khianati begitu saja?”
Aku berhenti sejenak. Volta masih terdiam, pun dengan Flame. Volta tampaknya tak menyangka aku akan mengeluarkan pernyataan sekeras itu di arena ini. Pun dengan Flame, yang kini hanya menunduk, mencoba menghindari tudingan dariku, atau tatapan Volta. Sementara para penonton pun terdiam. Sebagian mereka tampak bingung dengan apa yang tengah terjadi di arena, seraya berbisik bertanya-tanya. Sebagian lagi, tampak tak sabar menantikan kelanjutan drama spontan sebelum final ini.
“JAWAB AKU VOLTA!” aku membentak sangat keras. Kurasakan urat-urat di keningku menegang. Kurasakan peluh keringat mulai menetes, padahal pertarungan belum dimulai. “Jawab aku…. Siapa yang sepatutnya disebut menyedihkan?!” tanyaku mulai menurunkan suara. “Aku… yang kalah dalam pertarungan Pokemon… atau kamu, yang mengkhianati sahabatmu sendiri…”
Volta terdiam. Dia tak bicara apa-apa. Kesombongan yang ditunjukkannya di awal perkenalan tadi mendadak lenyap. Ini pertama kalinya kulihat Volta begitu lemah. Padahal, aku hanya menyerangnya dengan kata-kata. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang. Mungkin saja kini dia sudah menyadari kesalahannya, yang membuatnya tak punya jawaban apapun atas semua tudinganku. Huh, tapi aku belum selesai. Aku masih ingin melanjutkan kekesalanku… meluapkan amarahku yang selama ini terpendam begitu saja. Aku akan…
“Hentikan Lunar.”Tiba-tiba terdengar suara pelan Flame. Padahal, saat ini aku akan kembali melanjutkan ucapanku. Aku beralih melihat Flame yang masih tertunduk melihat ke bawah. “Hentikan semua ucapanmu,” lanjut Flame. Dia mendongak, dan membalikkan wajahnya cepat menatapku. “Kamu di sini bukan untuk mengungkit masa lalu. Ingatlah, kamu ada di sini untuk pertarungan final,” serunya dengan nada bergetar. Aku tak bisa melihat wajahnya secara jelas, namun sepertinya Flame tengah berusaha menahan tangis dalam matanya yang berkaca-kaca.
“Sekali lagi kudengar kamu mengatakan hal-hal yang berada di luar turnamen,” kata Flame meneruskan ucapannya, “… aku tak segan-segan mendiskualifikasi dirimu.”
Aku terhenyak tak percaya. Bahkan, setelah semua yang telah terjadi, Flame masih saja menganggap Volta sebagai sahabat. Aku benar-benar tak percaya. Tapi… Flame benar, aku di sini bukan untuk mengungkit masa lalu. Aku di sini untuk final. Flame telah bersikap profesional. Dia berupaya keras menahan emosinya, demi melakukan tugasnya sebagai Miss Festival. Walaupun aku tahu, dia sebenarnya…
“Kamu dengar apa yang dikatakan Flame, Lunar…” Volta akhirnya bersuara. Dia tampak menegakkan tubuhnya, dan berdiri menantang. “Masalah pribadi, hendaknya diselesaikan di kesempatan lain,” ujarnya kembali angkuh. “Karena hari ini… aku sudah tak sabar untuk… membakarmu!”

BAB LXI  SELESAI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda sopan, Sandslash pun segan...