Episode
429: Luapan Kekesalan
“Menarik sekali Lunar… maksudku si
Pincang,” ledek Volta. “Karena terakhir kali kita bertarung Pokemon… saat itu
kamu kalah dengan menyedihkan!”
A…Apa kata Volta? Kalah dengan
menyedihkan?
Aku terdiam. Segera saja aku teringat
pertarunganku melawan Volta, saat Tim Magma menggelar pesta di Continent
Magmarine, kapal selam yang menjadi markas Tim Magma setelah Gunung Chimney
digerebek Ranger. Apa yang dikatakan Volta benar. Dalam pertarungan terakhirku
melawan Volta, aku kalah telak. Tropius, Ninjask, dan Sandslash, semuanya
kalah. Sangat ironis saat Sandslash, yang kala itu belum kuberi nama, bisa dikalahkan
Electabuzz. Ditambah lagi kenyataan pahit, yang tak bisa kulupakan sampai saat
ini. Bahwa Badut, bukan… tapi Volta… adalah pengkhianat.
“Ya, kamu benar,” sahutku mencoba
tegar. “Kamu benar mengatakan aku menyedihkan, karena Pokemon tanah dikalahkan
Pokemon listrik,” sambungku. Kutatap Volta penuh emosi, dan Volta membalas
tatapanku dengan tampang meremehkan. “Tapi,” aku kembali bicara, “Tapi
sebenarnya kamulah yang paling menyedihkan malam itu. Kamu…. Kamu membuat
sahabatmu menangis!”
Akhirnya kukeluarkan juga kekesalan yang
telah kupendam selama ini. Mendengar itu, kulihat ekspresi wajah Volta berubah.
Dia tampak terkejut dengan apa yang kukatakan. Bukan hanya ekspresinya yang
berubah, tapi suasana arena mendadak berubah lengang. Mungkin aku terlalu keras
mengucapkannya, hingga para penonton mendengarnya. Kini, semua mata penonton
melihat ke arahku!
“Dia!” seruku kemudian seraya menunjuk
Flame yang berdiri di tengah-tengah kami. Flame tampak kaget dengan apa yang
kulakukan. Mungkin, dia juga tampak kaget mendengar ucapanku barusan. Mungkin
dia tak menyangka aku akan membuka kembali masa lalu kami dulu. Tapi sudah
terlambat untuk menyesali apa yang sudah kuucapkan. Sudah terlambat untuk
menghentikan pelampiasan kekecewaanku selama ini.
“Dia!” aku kembali mengulang ucapanku,
dengan tangan mantap menuding ke arah Flame. “Dia yang kamu buat menangis… dua tahun yang
lalu,” kataku sembari mendelik tajam ke arah Volta, yang kini tak berkutik. “Dia
yang menganggapmu sebagai sahabat… dia yang sudah begitu percaya padamu… yang dibelanya
mati-matian…. kemudian kamu khianati begitu saja?”
Aku berhenti sejenak. Volta masih
terdiam, pun dengan Flame. Volta tampaknya tak menyangka aku akan mengeluarkan
pernyataan sekeras itu di arena ini. Pun dengan Flame, yang kini hanya
menunduk, mencoba menghindari tudingan dariku, atau tatapan Volta. Sementara
para penonton pun terdiam. Sebagian mereka tampak bingung dengan apa yang
tengah terjadi di arena, seraya berbisik bertanya-tanya. Sebagian lagi, tampak
tak sabar menantikan kelanjutan drama spontan sebelum final ini.
“JAWAB AKU VOLTA!” aku membentak sangat
keras. Kurasakan urat-urat di keningku menegang. Kurasakan peluh keringat mulai
menetes, padahal pertarungan belum dimulai. “Jawab aku…. Siapa yang sepatutnya
disebut menyedihkan?!” tanyaku mulai menurunkan suara. “Aku… yang kalah dalam
pertarungan Pokemon… atau kamu, yang mengkhianati sahabatmu sendiri…”
Volta terdiam. Dia tak bicara
apa-apa. Kesombongan yang ditunjukkannya di awal perkenalan tadi mendadak
lenyap. Ini pertama kalinya kulihat Volta begitu lemah. Padahal, aku hanya
menyerangnya dengan kata-kata. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang.
Mungkin saja kini dia sudah menyadari kesalahannya, yang membuatnya tak punya
jawaban apapun atas semua tudinganku. Huh, tapi aku belum selesai. Aku masih
ingin melanjutkan kekesalanku… meluapkan amarahku yang selama ini terpendam
begitu saja. Aku akan…
“Hentikan Lunar.”Tiba-tiba terdengar
suara pelan Flame. Padahal, saat ini aku akan kembali melanjutkan ucapanku. Aku
beralih melihat Flame yang masih tertunduk melihat ke bawah. “Hentikan semua
ucapanmu,” lanjut Flame. Dia mendongak, dan membalikkan wajahnya cepat
menatapku. “Kamu di sini bukan untuk mengungkit masa lalu. Ingatlah, kamu ada di
sini untuk pertarungan final,” serunya dengan nada bergetar. Aku tak bisa
melihat wajahnya secara jelas, namun sepertinya Flame tengah berusaha menahan
tangis dalam matanya yang berkaca-kaca.
“Sekali lagi kudengar kamu mengatakan
hal-hal yang berada di luar turnamen,” kata Flame meneruskan ucapannya, “… aku
tak segan-segan mendiskualifikasi dirimu.”
Aku terhenyak tak percaya. Bahkan,
setelah semua yang telah terjadi, Flame masih saja menganggap Volta sebagai
sahabat. Aku benar-benar tak percaya. Tapi… Flame benar, aku di sini bukan untuk
mengungkit masa lalu. Aku di sini untuk final. Flame telah bersikap
profesional. Dia berupaya keras menahan emosinya, demi melakukan tugasnya
sebagai Miss Festival. Walaupun aku tahu, dia sebenarnya…
“Kamu dengar apa yang dikatakan Flame,
Lunar…” Volta akhirnya bersuara. Dia tampak menegakkan tubuhnya, dan berdiri
menantang. “Masalah pribadi, hendaknya diselesaikan di kesempatan lain,”
ujarnya kembali angkuh. “Karena hari ini… aku sudah tak sabar untuk…
membakarmu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...