SELAMAT MEMBACA!!!

Protected by Copyscape plagiarism checker - duplicate content and unique article detection software.

Kini blog ini fokus menayangkan fanfic Pokemon terpopuler di Indonesia, Servada Chronicles karangan L. Maulana atau yang akrab dipanggil Elite Four L.

PERHATIAN!
Sebagian gambar dan materi dalam blog ini diambil dari internet sementara sebagian lagi murni buatan Elite Four L. Elite Four L tidak akan mengklaim materi yang bukan miliknya. Dilarang mengkopi artikel dalam blog ini tanpa izin dari Elite Four L. Terima kasih.

Nama-nama dan karakter Pokemon adalah hak cipta dari Nintendo, GameFreak, Creatures Inc., dan Pokemon Company. Servada Chronicles adalah hak cipta L. Maulana / Elite Four L.

Senin, 01 Maret 2010

L's Diary: Eps. 42 - Kedatangan Kelompok Paci

wooper gifEpisode 42: Kedatangan Kelompok Paci


”Jadi ini motel Cove Lily?” tanyaku kagum melihat bangunan tinggi di depanku.

Aku, Flame, dan Badut, kami bertiga sekarang memang telah berada di kota Lilycove tepatnya di depan motel Cove Lily yang terkenal itu. Konon motel ini sering dikunjungi oleh pasangan yang tengah dimabuk cinta. Dan mitosnya, barang siapa pasangan yang menginap di motel ini, hubungan mereka akan langgeng. Tapi bagiku mitos itu hanya akal-akalan pihak pengelola motel agar motel ini laris dikunjungi pasangan baik muda-mudi, suami-istri, hingga kakek-nenek.



”Hei L, jangan membuat kita malu dong,” tegur Flame melihat kekagumanku.

”Ah, maaf,” jawabku sambil menoleh pada Flame. Dia tampak cantik dengan baju kasual yang dikenakannya saat ini. Memang kami bertiga tidak memakai seragam Tim Magma seperti biasanya dan sebagai gantinya kami memakai pakaian kasual sehari-hari sebagai penyamaran.

”Sudahlah, biarkan saja si L yang udik itu. Kita sekarang harus segera memesan tempat disini atau kita bisa kehabisan tempat,” gerutu Badut. Dia kemudian masuk ke dalam motel diikuti kami berdua.

Kami kemudian memesan dua buah kamar, satu kamar untukku dan Badut sementara kamar satunya untuk Flame. Ya, inilah repotnya kalau ada wanita dalam regu. Pengeluaran yang mestinya untuk satu kamar pun membengak menjadi dua kamar. Maklum, wanita memiliki privasi mereka sendiri. Untungnya kedua kamar ini berdekatan sehingga kami mudah untuk berkoordinasi.

”Baiklah, begini rencananya,” ujar Badut membuka briefing. Aku dan Flame pun mendengarkan dengan sangat antusias. Rencana yang bagus.

Sesuai rencana, aku dan Badut mengamati kedatangan kelompok Paci dari jendela kamar kami yang kebetulan menghadap langsung ke arah pelabuhan Lilycove. Dengan begitu kami bisa langsung mengetahui siapa saja yang baru berlabuh di pelabuhan. Tentu saja kami memakai teropong. Sementara itu, Flame...

Brak! Pintu kamar kami terbuka dengan kasar. Kami berdua menoleh dan tampak Flame berdiri di depan pintu dengan pakaian cosplay yang mirip dengan Flareon.



”Cuma sekali ini saja, jangan minta aku memakai pakaian konyol ini lagi,” protes Flame. Tampaknya dia tidak suka dengan kostum Flareon tersebut. Tapi Flareon yang ikut bersamanya sepertinya suka.

”Ayolah Flame, ini demi tugas kita,” hibur Badut. Tapi aku tahu, itu tidak bisa menghibur.

”Hei, hei!” teriakku melihat sosok yang baru keluar dari pelabuhan. ”Mereka itu kelompok Paci bukan?”

Mendengar itu Badut dan Flame langsung mendekatiku yang masih mengamati dari jendela. Mereka berdua ikut mengamati dan kemudian kami yakin orang-orang itu adalah kelompok Paci. Ada empat orang, semuanya berpakaian serba hitam. Di antara keempat orang tersebut tampak lelaki bertubuh pendek yang kami tahu adalah pemimpin mereka...sekaligus target rencana kami.

”Nanta Paciolo terlihat,” sentak Badut memecahkan keheningan di antara kami. ”Flame, ambil posisimu dan lakukan tugasmu. Kita butuh di kamar mana mereka akan menginap dan lokasi pertemuan mereka.”

”Iya...iya....” jawab Flame tak bersemangat. Sepertinya dia benci dengan rencana ini. Dalam rencana ini Flame menyamar sebagai wanita penjaja balon. Flame akan berusaha keras mengikuti kelompok Paci untuk memperoleh informasi. Dan tentunya, dia harus memakai kostum Flareon sebagai samaran.

”Kalau wanita, pasti akan lebih menarik perhatian. Itu takkan terjadi padamu atau padaku,” itulah alasan Badut. ”Lagipula Flame itukan cantik. Apa kau juga berpikiran demikian L?”

”Ah, iya,” jawabku datar. Flame memang cantik...ah, bukan...dia itu...manis.

Kami berdua terus mengamati kelompok Paci yang berjalan menuju motel Cove Lily sementara Flame telah bersiap di pintu masuk hotel. Untunglah pengelola motel mengizinkan Flame menjual balon bersama Flareon.

”Mereka berempat sudah masuk ke dalam motel, sekarang giliran Flame bekerja.”

”Kuharap dia mendapat banyak informasi seperti yang dibutuhkan oleh rencana ini,” harapku.

”Tentu saja, lagipula Flame itu kan cantik. Apa kau juga berpikiran demikian L?”?”

”Badut, mau sampai kapan kau menanyakan hal itu? Kau sudah mengatakan hal itu sebanyak empat kali dan lima dengan yang ini. Apa maksudmu mengatakannya? Apa kau menyukai Flame?” tanyaku jengah mendengar perkataan yang diulang-ulang itu.

”Menyukainya? Hahaha...” Badut tertawa mendengar pertanyaanku. Tentu saja membuatku heran. Badut kini menatapku tajam. ”Bukankah kau yang meyukainya L? Jangan berbohong padaku...”

Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Kini Badut menatapku dengan nakal. Tampaknya dia ingin aku menjawab pertanyaannya itu. ”Benar demikian bukan L?”

”Kau ini....bisakah kau tidak membicarakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tugas ini? Aku takut ini berpengaruh pada tugas kita ini,” jawabku berusaha menghindar dari pertanyaan itu.

”Oh, ya? Pengaruh pada tugas, atau pengaruh pada dirimu?” Badut menatapku dengan sorotan mata yang aneh.

”Aku...aku... hanya menganggapnya sebagai teman...” jawabku seadanya, berharap Badut melupakan pertanyaan bodohnya itu.

”Ayolah...semuanya terlihat jelas di matamu tuh....” goda Badut lagi.

”Badut hentikan!” bentakku. ”Kita ini sedang bertugas!”

Badut terdiam. Dia lalu berjalan mengambil air minum kemudian duduk di sofa. Dia menghabiskan airnya dalam dua kali teguk. ”Oke, kita berpikir tentang tugas. Pantas kau tak terlihat begitu santai. Tapi aku tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya.”

Aku terdiam tak menjawab sambil berpura-pura mengamati suasana kota Lilycove menggunakan teropong. Ah, semudah itukah Badut membaca perasaanku pada Flame? Tapi benarkah perasaan ini tak lebih dari sekedar rekan? Adakah yang lain? Atau memang Badut benar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda sopan, Sandslash pun segan...