Episode 458: Air Mata yang Terus Mengalir
“Ya! Iya itu benar!” jawab Volta kesal. “Bagiku.... kalian adalah penghalang yang mesti disingkirkan!” sentaknya penuh emosi. “Apa sekarang kamu puas Flame? Apa sekarang kamu puas?! Berhentilah menganggapku sebagai sahabatmu lagi! Aku bukan sahabatmu!”
“Ya! Iya itu benar!” jawab Volta kesal. “Bagiku.... kalian adalah penghalang yang mesti disingkirkan!” sentaknya penuh emosi. “Apa sekarang kamu puas Flame? Apa sekarang kamu puas?! Berhentilah menganggapku sebagai sahabatmu lagi! Aku bukan sahabatmu!”
![]() |
sumber gambar dari sini. |
Flame terhenyak. Ucapan Volta itu begitu menusuk hatinya. Semua kenangan tentang persahabatan yang disimpannya dengan indah... semua memori dalam masa yang singkat itu... sebuah ingatan yang membuatnya merasakan kebahagiaan memiliki teman itu.... tak berarti apa-apa? Semua yang telah dipertahankannya... semua kepercayaan akan adanya teman sejati itu.... bisa dengan begitu mudahnya disingkirkan?
Flame terdiam. Matanya langsung berkaca-kaca. Air mata jatuh menetes di pipinya yang halus itu. Dia tak kuasa menahan air matanya, tak kuasa lagi menahan kesedihannya. Dia menangis perlahan... menangis dengan begitu menyedihkan.
“Volta... teganya kamu melakukan ini...” ujar Flame terisak. Air mata kini membanjiri pipinya. “Apakah ini... balasanmu untuk kami? Apakah benar apa yang telah kita lalui tak berarti apapun untukmu...?”
Flame terdiam. Matanya langsung berkaca-kaca. Air mata jatuh menetes di pipinya yang halus itu. Dia tak kuasa menahan air matanya, tak kuasa lagi menahan kesedihannya. Dia menangis perlahan... menangis dengan begitu menyedihkan.
“Volta... teganya kamu melakukan ini...” ujar Flame terisak. Air mata kini membanjiri pipinya. “Apakah ini... balasanmu untuk kami? Apakah benar apa yang telah kita lalui tak berarti apapun untukmu...?”
Volta terdiam melihat Flame menangis. Tangisan itu, tangisan yang pernah ditenangkannya dulu. Tangisan yang pernah meluluhkan hatinya, yang membawanya menjadi sebuah pribadi baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Tangisan yang dulu begitu dia pedulikan, membawa kenangannya pada masa-masa masih berseragam merah hitam.
Dia ingat, saat itu dia baru bergabung dengan Tim Magma. Saat itu para grunt mengikuti ujian inisiasi Tim Magma, sebuah ujian bertahan hidup sebelum benar-benar beraksi di lapangan sebagai grunt Tim Magma. Saat itu...
“Percuma Flame!” seruku membuyarkan lamunan Volta. “Sekeras apapun kau mengingatkannya... sebanyak apapun air mata yang kau tumpahkan... Volta takkan pernah bisa berubah. Dia sudah orang asing bagi kita... dia bukan lagi sahabat yang kita kenal dulu. Dia sekarang penjahat tak berperikemanusiaan yang rela membunuh temannya sendiri demi memuaskan ambisinya!” kataku dengan penuh kemarahan.
Sudah sangat jelas bahwa Volta telah berubah. Dia menjadi sosok yang begitu kejam, dan tidak akan kubiarkan Flame dekat dengannya. Takkan kubiarkan lagi Flame menganggapnya sebagai seorang sahabat. Karena... ini sudah bukan lagi kali pertama dia membuat Flame menangis. Dia... si Volta itu... sudah keterlaluan!
“Berhenti menyebutnya sebagai seorang sahabat, Flame!” kataku lagi. “Dia sudah tidak pantas dipanggil sahabat. Bahkan mantan sahabat sekalipun.... dia bukan lagi sahabat kita! Dan aku.... aku tidak ingin kau menganggapnya sebagai sahabat! Aku tidak ingin kau bersahabat lagi dengan seorang penjahat! Apa kau masih belum bisa paham itu Flame? Dia itu bukan Badut yang selalu membuatmu tertawa!”
Flame terdiam mendengar ucapannya. Dia berhenti terisak, dan sepertinya dia berusaha keras menahan air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir. Dia lalu melihat ke arahku dengan tatapan nanar, seakan mengatakan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Oh Flame, kenapa kau bisa mengalami penderitaan seperti ini...
“DIAM KAMU PINCANG!” bentak Volta tiba-tiba. “Daripada kamu mengoceh tidak jelas, lebih baik sampaikan permohonan terakhirmu. Karena ajalmu... SUDAH TIBA!”
BLAMMM!
Rayquaza menyentakkan ekor besarnya, membuat Guardian terpelanting jatuh ke tanah. Sandslash-ku itu pun pingsan. Benar-benar kerja bagus Guardian, kamu telah membelaku hingga titik penghabisanmu. Sekarang kembalilah dan beristirahatlah, batinku seraya memasukkannya kembali ke dalam PokeBall.
“Baiklah Lunar Servada yang budiman, yang selalu ingin menjadi seorang teman yang baik hati, tidak sepertiku yang kamu anggap penjahat,” ucap Volta panjang. “Sekarang akan kusudahi basa-basiku karena setelah kupikir-pikir aku hanya membuang-buang waktu denganmu,” sambungnya. Dia berhenti sejenak seperti orang berpikir, kemudian kembali berkata, “Biar kuulangi sekali lagi. Groudon... atau... nyawamu?”
Aku terdiam. Sekarang aku sudah kehabisan tenaga dan juga Pokemon. Tapi aku harus tetap berjuang hingga batas terakhirku mempertahankan RedClaw. Yang pasti Aku tidak akan menyerahkan Groudon dengan mudah. Karena selain dia adalah tropi kemenanganku, dia juga sudah kuanggap sebagai.... bagian dari diriku sendiri!
“Kamu mau tahu jawabannya Volta?” tantangku.
Volta mendengus. “Tidak usah bertele-tele Lunar. Aku ragu kalau kamu akan meyerahkan dirimu demi Pokemon.”
“Jadi begitu ya perkiraanmu?” Aku tersenyum.“Kalau begitu jawabanku adalah...” aku menunduk sekilas lantas menatap Volta, menjawab dengan lantang. “MATI SAJA KAMU VOLTA!”
Dia ingat, saat itu dia baru bergabung dengan Tim Magma. Saat itu para grunt mengikuti ujian inisiasi Tim Magma, sebuah ujian bertahan hidup sebelum benar-benar beraksi di lapangan sebagai grunt Tim Magma. Saat itu...
“Percuma Flame!” seruku membuyarkan lamunan Volta. “Sekeras apapun kau mengingatkannya... sebanyak apapun air mata yang kau tumpahkan... Volta takkan pernah bisa berubah. Dia sudah orang asing bagi kita... dia bukan lagi sahabat yang kita kenal dulu. Dia sekarang penjahat tak berperikemanusiaan yang rela membunuh temannya sendiri demi memuaskan ambisinya!” kataku dengan penuh kemarahan.
Sudah sangat jelas bahwa Volta telah berubah. Dia menjadi sosok yang begitu kejam, dan tidak akan kubiarkan Flame dekat dengannya. Takkan kubiarkan lagi Flame menganggapnya sebagai seorang sahabat. Karena... ini sudah bukan lagi kali pertama dia membuat Flame menangis. Dia... si Volta itu... sudah keterlaluan!
“Berhenti menyebutnya sebagai seorang sahabat, Flame!” kataku lagi. “Dia sudah tidak pantas dipanggil sahabat. Bahkan mantan sahabat sekalipun.... dia bukan lagi sahabat kita! Dan aku.... aku tidak ingin kau menganggapnya sebagai sahabat! Aku tidak ingin kau bersahabat lagi dengan seorang penjahat! Apa kau masih belum bisa paham itu Flame? Dia itu bukan Badut yang selalu membuatmu tertawa!”
Flame terdiam mendengar ucapannya. Dia berhenti terisak, dan sepertinya dia berusaha keras menahan air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir. Dia lalu melihat ke arahku dengan tatapan nanar, seakan mengatakan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Oh Flame, kenapa kau bisa mengalami penderitaan seperti ini...
“DIAM KAMU PINCANG!” bentak Volta tiba-tiba. “Daripada kamu mengoceh tidak jelas, lebih baik sampaikan permohonan terakhirmu. Karena ajalmu... SUDAH TIBA!”
BLAMMM!
Rayquaza menyentakkan ekor besarnya, membuat Guardian terpelanting jatuh ke tanah. Sandslash-ku itu pun pingsan. Benar-benar kerja bagus Guardian, kamu telah membelaku hingga titik penghabisanmu. Sekarang kembalilah dan beristirahatlah, batinku seraya memasukkannya kembali ke dalam PokeBall.
“Baiklah Lunar Servada yang budiman, yang selalu ingin menjadi seorang teman yang baik hati, tidak sepertiku yang kamu anggap penjahat,” ucap Volta panjang. “Sekarang akan kusudahi basa-basiku karena setelah kupikir-pikir aku hanya membuang-buang waktu denganmu,” sambungnya. Dia berhenti sejenak seperti orang berpikir, kemudian kembali berkata, “Biar kuulangi sekali lagi. Groudon... atau... nyawamu?”
Aku terdiam. Sekarang aku sudah kehabisan tenaga dan juga Pokemon. Tapi aku harus tetap berjuang hingga batas terakhirku mempertahankan RedClaw. Yang pasti Aku tidak akan menyerahkan Groudon dengan mudah. Karena selain dia adalah tropi kemenanganku, dia juga sudah kuanggap sebagai.... bagian dari diriku sendiri!
“Kamu mau tahu jawabannya Volta?” tantangku.
Volta mendengus. “Tidak usah bertele-tele Lunar. Aku ragu kalau kamu akan meyerahkan dirimu demi Pokemon.”
“Jadi begitu ya perkiraanmu?” Aku tersenyum.“Kalau begitu jawabanku adalah...” aku menunduk sekilas lantas menatap Volta, menjawab dengan lantang. “MATI SAJA KAMU VOLTA!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...