Episode 459: Rasa Sakit Tak Tertahankan
“MATI SAJA KAMU VOLTA!”
Demi mendengar ucapan itu, raut wajah Volta berubah begitu cepat. Dia menggeram keras dan berteriak dengan begitu keras. “KURANG AJAR KAMU LUNAR!”
Rayquaza bergerak menggeliat dengan beratnya, menghancurkan tanah di sekelilingnya. Pokemon itu melayang tepat di depanku, memandangku tajam dan mengangkat ekornya ke atas. Aku terkesiap melihatnya, terpaku seakan tak bisa bergerak. Kupikir ini akan menjadi... “HABISI DIA RAYQUAZA!”
BLARMMM!
“MATI SAJA KAMU VOLTA!”
Demi mendengar ucapan itu, raut wajah Volta berubah begitu cepat. Dia menggeram keras dan berteriak dengan begitu keras. “KURANG AJAR KAMU LUNAR!”
Rayquaza bergerak menggeliat dengan beratnya, menghancurkan tanah di sekelilingnya. Pokemon itu melayang tepat di depanku, memandangku tajam dan mengangkat ekornya ke atas. Aku terkesiap melihatnya, terpaku seakan tak bisa bergerak. Kupikir ini akan menjadi... “HABISI DIA RAYQUAZA!”
BLARMMM!
![]() |
Gambar dari sini |
Ekor besar Rayquaza menghujam keras menghancurkan tanah tepat di depanku, membuatku terjatuh ke tanah. Dengan cepat aku berusaha bangkit, namun kurasakan badanku tak bisa bergerak. Tubuhku kram!
“GROAAAAN!”
Rayquaza mengaum, kembali mengangkat ekor besarnya, hendak melayangkan serangan ekornya yang kedua kalinya ke arahku. Secara refleks aku membalik tubuhku terlentang dan melihat ekor itu bergerak dengan cepatnya ke arahku. Susah payah aku menggerakkan tubuhku mundur mencoba menghindari serangan itu. Akhirnya aku berhasil menarik tubuhku mundur.... tapi sudah terlambat. Ekor itu menghujam dengan kerasnya menimpaku.
“GROAAAAN!”
Rayquaza mengaum, kembali mengangkat ekor besarnya, hendak melayangkan serangan ekornya yang kedua kalinya ke arahku. Secara refleks aku membalik tubuhku terlentang dan melihat ekor itu bergerak dengan cepatnya ke arahku. Susah payah aku menggerakkan tubuhku mundur mencoba menghindari serangan itu. Akhirnya aku berhasil menarik tubuhku mundur.... tapi sudah terlambat. Ekor itu menghujam dengan kerasnya menimpaku.
BLAAAMM!
“ARGHHHH!”
Aku berteriak begitu keras hingga ke tenggorokkanku. Kurasakan sesuatu yang sangat berat menimpa kaki kiriku yang pincang. Seketika itu juga kurasakan kakiku terasa hancur. Sesuatu yang kental dan basah terasa menyelimuti kakiku yang... yang.... tidak bisa kurasakan lagi!
“ARGHHH!!!”
“LUNAR! LUNAR!”
Kudengar teriakan Flame memanggil namaku. Terdengar nada ketakutan dalam teriakannya, membuatku tak bisa membayangkan apa yang terjadi padaku.
“LUNAAAARRR!!!” Flame kembali berteriak keras dengan isak tangis mengiringi. “Apa yang kamu lakukan VOLTA?! APA?! KAMU KEJAM! KAMU KEJAM!!!”
Volta diam. Dia tak menjawab. Dia tak bersuara. Raut mukanya datar. Rayquaza berhenti menggeliat, Pokemon legenda itu juga terdiam. Volta lalu berjalan pelan menghampiriku yang terbaring tak berdaya di tanah. Aku sendiri tak bisa merasakan sekitarku. Kepalaku terasa begitu berat, pandanganku terasa begitu kabur. Dengan rasa sakit yang terus-menerus mendera tubuhku. Berkali-kali aku mengerang kesakitan. Rasa sakit ini... sangat tidak tertahankan.
“Maafkan Aku, Lunar,” kata Volta tanpa ekspresi. Dia berdiri dan memandangiku lama, seolah merayakan kemenangannya. Ya, dia menang... dia telah menang. Aku tak tahu apa yang terjadi tapi, kusadari jelas kalau aku sudah kalah. Aku tak berdaya. Aku tak bisa menggerakkan badanku. Apa... apa yang terjadi padaku.
Volta membuang napas panjang. Dia lalu merunduk seakan ingin mengambil sesuatu dariku. Mengambil... sesuatu... dia mau mengambil Groudon. “Sekarang katakan di mana kamu simpan Pokemon itu. Atau aku akan melanjutkan menghancurkan tubuhmu. Sekarang kamu rasakan sendiri kan kalau aku tidak main-main,” katanya datar. Tidak ada seringai jahat atau kata-kata mengejek sebagaimana biasanya. Kata-katanya benar-benar datar.
Alih-alih menjawab, yang bisa kulakukan hanya terengah-engah. Serangan tadi seakan telah menghisap habis tenagaku. Serangan tadi seakan telah mencabut nyawaku, seakan nyawaku kini tinggal tersisa di kepala. Tapi entah kenapa tangan kananku bisa bergerak, dan entah kenapa tangan kananku bergerak menggapai-gapai ke bawah. Rupanya tangan kananku masih utuh.
“Oh, kamu mau mengeluarkan sesuatu dari saku celanamu? Biar kubantu,” ujar Volta membaca gerakan tanganku. Tangannya lantas merogoh saku celanaku dan mengeluarkan seuah PokeBall dari sana. “PokeBall?” tunjuknya padaku. “Kamu menyimpan Groudon dalam PokeBall biasa seperti ini? Apa kamu bercanda?”
PokeBall? Ya, itu PokeBall. Volta tampak memegang PokeBall yang diambilnya dari sakuku. PokeBall itu... sepertinya jarang sekali kukeluarkan dari sakuku. PokeBall itu...
Samar-samar kulihat PokeBall yang ada di kepalan tangan Volta. Sesuatu tampak terukir di lingkaran besi yang memisahkan sisi merah dan putihnya. Ukiran itu tertulis... Lydia?
“ARGHHHH!”
Aku berteriak begitu keras hingga ke tenggorokkanku. Kurasakan sesuatu yang sangat berat menimpa kaki kiriku yang pincang. Seketika itu juga kurasakan kakiku terasa hancur. Sesuatu yang kental dan basah terasa menyelimuti kakiku yang... yang.... tidak bisa kurasakan lagi!
“ARGHHH!!!”
“LUNAR! LUNAR!”
Kudengar teriakan Flame memanggil namaku. Terdengar nada ketakutan dalam teriakannya, membuatku tak bisa membayangkan apa yang terjadi padaku.
“LUNAAAARRR!!!” Flame kembali berteriak keras dengan isak tangis mengiringi. “Apa yang kamu lakukan VOLTA?! APA?! KAMU KEJAM! KAMU KEJAM!!!”
Volta diam. Dia tak menjawab. Dia tak bersuara. Raut mukanya datar. Rayquaza berhenti menggeliat, Pokemon legenda itu juga terdiam. Volta lalu berjalan pelan menghampiriku yang terbaring tak berdaya di tanah. Aku sendiri tak bisa merasakan sekitarku. Kepalaku terasa begitu berat, pandanganku terasa begitu kabur. Dengan rasa sakit yang terus-menerus mendera tubuhku. Berkali-kali aku mengerang kesakitan. Rasa sakit ini... sangat tidak tertahankan.
![]() |
Gambar dari sini. |
Volta membuang napas panjang. Dia lalu merunduk seakan ingin mengambil sesuatu dariku. Mengambil... sesuatu... dia mau mengambil Groudon. “Sekarang katakan di mana kamu simpan Pokemon itu. Atau aku akan melanjutkan menghancurkan tubuhmu. Sekarang kamu rasakan sendiri kan kalau aku tidak main-main,” katanya datar. Tidak ada seringai jahat atau kata-kata mengejek sebagaimana biasanya. Kata-katanya benar-benar datar.
Alih-alih menjawab, yang bisa kulakukan hanya terengah-engah. Serangan tadi seakan telah menghisap habis tenagaku. Serangan tadi seakan telah mencabut nyawaku, seakan nyawaku kini tinggal tersisa di kepala. Tapi entah kenapa tangan kananku bisa bergerak, dan entah kenapa tangan kananku bergerak menggapai-gapai ke bawah. Rupanya tangan kananku masih utuh.
“Oh, kamu mau mengeluarkan sesuatu dari saku celanamu? Biar kubantu,” ujar Volta membaca gerakan tanganku. Tangannya lantas merogoh saku celanaku dan mengeluarkan seuah PokeBall dari sana. “PokeBall?” tunjuknya padaku. “Kamu menyimpan Groudon dalam PokeBall biasa seperti ini? Apa kamu bercanda?”
PokeBall? Ya, itu PokeBall. Volta tampak memegang PokeBall yang diambilnya dari sakuku. PokeBall itu... sepertinya jarang sekali kukeluarkan dari sakuku. PokeBall itu...
Samar-samar kulihat PokeBall yang ada di kepalan tangan Volta. Sesuatu tampak terukir di lingkaran besi yang memisahkan sisi merah dan putihnya. Ukiran itu tertulis... Lydia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...