Episode 52: Gunung Chimney Tinggal Kenangan
Helikopter pengangkut terus terbang melayang meninggalkan gunung Chimney. Dari dalam helikopter, kami semua memandang ke bawah, melihat gunung Chimney yang selama ini telah menjadi markas kami.
”Akhirnya kita harus meninggalkan gunung ini,” gumam Flame manatap jauh gunung Chimney dengan sedih. ”Banyak kenangan yang telah tercipta di gunung ini...”
”Ya, kau benar Flame,” sahutku. ”Disanalah aku pertama kali bertemu dengan kalian. Disanalah aku bertarung di Magstadium untuk bisa bergabung dengan kalian.”
”Sudahlah, kalian tak perlu sedih,” Badut ikut bicara. ”Maxie bilang kita akan kembali lagi ke gunung ini jika keadaan telah aman, jadi jangan khawatir. Lagipula siapa yang mau berlama-lama tinggal di dalam gunung yang pengap dan sangat panas itu lagi?”
Aku dan Flame terdiam. Memang benar kata Badut, gunung Chimney memang sangat panas dan tidak baik bagi kesehatan kami semua bila terus-menerus berada disana. Tetapi...
”Kau tahu Badut,” Flame menoleh. ”Aku bahkan tak pernah merasakan pengap dan panas selama berada disana, padahal seharusnya aku telah merasakannya.”
”Oh ya?”
Flame menggangguk. ”Ya, karena persahabatan di antara kita semua telah mendinginkan panasnya gunung Chimney. Semua kebersamaan kita selama ini, kenangan-kenangan itu, adalah angin semilir yang menyejukkan tubuhku. Itu saja cukup untuk memadamkan lahar gunung Chimney, aku pikir.”
Aku dan Badut tersenyum mendengarnya. Flame ikut tersenyum seraya memandang wajah kami berdua. Dia lalu merangkul pundak kami berdua. ”Aku harap kebersamaan ini takkan pernah berakhir,” ujarnya.
”Ya, aku dan Badut berharap seperti itu juga,” sahutku. Badut hanya tersenyum mendengarnya.
”Maaf mengganggu,” tiba-tiba terdengar suara seseorang di belakang kami. Kami bertiga menoleh. Rupanya Brodie. Apa yang akan dia lakukan?
”Ya?”
”Flame, aku kesini mau meminta maaf atas kelakuan kasarku waktu itu,” kata Brodie mengutarakan keinginannya. ”Aku tahu tak seharusnya aku bersikap jahat pada L dan aku tahu bahwa hubungan kita berdua hanyalah sebatas rekan, tak pernah lebih.” Brodie terdiam. Dia lalu mengulurkan tangannya ke arah Flame. ”Maukah kau memaafkanku, Flame?”
Flame terdiam. Dia lalu tersenyum kecil dan tiba-tiba memeluk Brodie. Brodie terkejut. Aku pun ikut terkejut sementara Badut menyikut pinggangku.
”Aku senang kau telah menyadari kekeliruanmu Brodie,” ujar Flame. Dia lalu melepaskan pelukannya. ”Tentu saja aku memaafkanmu. Dalam keadaan seperti ini tak ada gunanya kita berselisih. Hal itu hanya akan menghambat tujuan awal kita semua. Bagaimanapun kita semua adalah rekan dan bersama-sama kita akan memperluas dataran Hoenn.”
”Terima kasih Flame, kau memang baik hati.”
”Eh...eh.... jangan lupa untuk meminta maaf pada L karena kau telah berbuat kasar padanya,” potong Flame.
”Ya, tentu saja.” Brodie mengulurkan tangannya ke arahku. Aku lalu menjabat tangan Brodie. Brodie mempererat jabatan tangan itu dan tampaknya dia mencengkeram tangaku hingga aku kesakitan, tapi aku tahan rasa sakit itu agar tak merusak suasana ini. ”L, maafkan aku. Mulai sekarang kita akan berteman dan bersaing secara sehat.”
”I...iya....” jawabku menahan sakit akibat cengkeraman tangan itu.
”Bersaing? Apa maksudmu?” tanya Flame tak mengerti. Brodie diam tak menjawab. Dia tersenyum, melepaskan jabatan tangannya, dan berbalik menjauhi kami. ”Aku benar-benar heran dengan sikapnya,” celoteh Flame sepeninggal Brodie. ”Dia itu misterius.”
”Ah, sudahlah... jangan kau pikirkan lelaki menyedihkan itu,” sahut Badut. ”Sekarang yang harus kita pikirkan adalah kemarahan Tabitha karena kita telah gagal dalam misi menghentikan Nanta.”
”Kita tidak gagal, tapi ini di luar dugaan,” jawab Flame. ”Kita sudah berhasil meringkus Nanta, tapi kita tak menduga kalau anak buah Nanta akan berbuat seperti itu.”
”Ya, Flame benar,” belaku. ”Kita telah berhasil membungkam Nanta, tetapi kita tak menduga kalau sebelumnya Nanta telah memerintahkan anak buahnya untuk membocorkan rahasia kita bila dia dalam bahaya.”
Badut terdiam. Dia memandang jauh ke luar jendela helikopter. ”Semoga Nanta mengatakan hal yang benar tentang hal ini...”
Sementara itu di hotel Cove Lily.
“Nanta, terima kasih banyak atas bantuanmu,” ujar seseorang dalam videophone. “Kami memang gagal menangkap Tim Magma, tapi paling tidak kami berhasil mencegah aksi mereka dan mempersempit ruang gerak mereka.”
“Tak perlu berterima kasih padaku, Tuan Ranger,” jawab Nanta. ”Justru aku yang harus berterima kasih kepada kalian, karena atas bantuan kalian kami bisa meneruskan rencana kami atas gunung Chimney.”
“Nanta, semoga rencanamu bermanfaat bagi banyak orang. Terima kasih dan sampai jumpa.”
”Sampai jumpa lagi, senang berbisnis dengan kalian.”
Klik. Nanta kemudian mematikan videophone-nya. Dia lalu melangkah pelan ke jendela hotel sembari memandang hamparan lautan luas di seberang sana.
”Volta...” bisiknya pelan. ”Kau pikir aku akan membiarkanmu menang begitu saja? Kau salah bila berpikir seperti itu.... bagaimanapun, akulah yang akan selalu menang dalam pertarungan keluarga ini.... benar begitu bukan, Pachi?”
”Pachi!” jawab seekor Pokemon menyerupai tupai yang tiba-tiba muncul dan melompat ke pundak Nanta..
Nanta membelai Pokemon berwarna putih biru tersebut dengan lembut. Dia kemudian berkata, ”Maafkan aku Volta, tapi aku memang sengaja melanggar perjanjian kita....”
Bab VIII - Jatuhnya Gunung Chimney --- selesai.
Keterangan Alih Bahasa:
Kilatan Cahaya - Flash
Gelombang Petir - Thunder Wave
Semburan Api - Flame Thrower
Bubuk Pelumpuh - Stun Spore
Sayatan - Slash
Galian - Dig
Gigitan - Bite
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...