Episode 55: Tiba di Pulau Merah
Kami sudah berada di hanggar kapal selam untuk keberangkatan kami ke pulau Merah. Tabitha telah ada disana sebagai pembekalan terakhir.
”Baiklah, kuharap kalian berhasil dalam misi kali ini. Buktikan kalau kami tak salah memilih kalian,” ujar Tabitha. ”Paket yang kalian terima kemarin adalah perlengkapan yang kalian perlukan dalam misi ini. Manfaatkan sebaik-baiknya.”
”Baik!”
Kami bertiga masuk ke dalam helikopter kecil yang telah dipersiapkan. Dengan helikopter ini kami akan berangkat ke pulau Merah, sebuah pulau di barat daya daratan utama provinsi Poin. Di pulau itulah terletak gunung yang kabarnya terdapat tanda-tanda keberadaan Groudon.
Helikopter dikemudikan oleh Flame, sementara aku dan Badut di kursi belakang menyusun rencana. Dalam paket disebutkan kalau gunung Kanon adalah gunung paling aktif di provinsi Poin. Tercatat gunung ini telah meletus sebanyak lebih dari seratus kali. Meskipun begitu, penduduk di sekitar gunung tersebut enggan untuk pergi karena tanah di sekitar gunung tersebut subur dan bagus untuk pertanian. Mereka hanya akan mengungsi apabila gunung menunjukkan tanda-tanda akan meletus dan kembali ke desa mereka bila gunung itu telah tenang.
Perjalanan menuju pulau Merah memakan waktu cukup lama, hampir sama dengan perjalanan kami ke pulau Hitam. Selama itu aku mencoba untuk menenangkan perasaan gugupku. Entah mengapa aku memiliki firasat buruk mengenai misi ini. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, tapi aku tak bisa mengatakan kegelisahanku ini pada Badut atau Flame. Badut tentunya akan marah padaku dan menganggap perkataanku sebagai kutukan setelah peristiwa jatuhnya gunung Chimney saat itu.
Setelah cukup lama akhirnya kami melihat pulau yang dimaksud. Wajar saja kalau pulau itu disebut pulau Merah, karena memang warna itu yang tampak dominan dari pulau itu. Pulau itu terlihat merah menyala dengan gunung besar berbentuk meriam yang tampak membara dengan asap hitam keluar dari dalamnya. Aku penasaran seperti apa pulau itu dari dekat.
”Kita sampai.” Flame mendaratkan helikopter di sebuah tanah lapang yang ada di tepi pulau. Aku dan Badut segera keluar dari helikopter dan menapak tanah merah di bawah kaki kami. Flame lalu keluar menyusul kami.
”Jadi ini pulau Merah?” komentar Badut. ”Tak heran bila pulau ini disebut pulau Merah.”
”Sekarang kita harus segera menemui peneliti yang dimaksud Tabitha,” gagasku. Badut dan Flame menggangguk. Kami bertiga kemudian berjalan memasuki desa kecil yang ada di pulau itu.
Kami memasuki desa dan menemukan rumah-rumah yang terbuat dari kayu di sekitar kami. Tapi kami tak melihat seorang pun yang tinggal di desa itu. Jangankan manusia, Pokemon pun tak nampak sama sekali. Sepertinya saat ini desa itu... bukan, tapi pulau ini tak berpenghuni.
”Mereka mungkin sudah mengungsi,” simpul Flame. ”Rumah peneliti itu ada di sebelah sana,” tunjuknya kemudian. Kami mengikuti Flame dan tiba di sebuah rumah kecil.
Aku mengetuk pintu perlahan dan tiba-tiba saja pintu rumah terbuka dengan sangat keras. Seorang lelaki tua dengan kacamata bulat menyambut kedatangan kami.
”Ah, akhirnya kalian datang juga,” sambut lelaki itu tampak sangat ketakutan. ”Kalau begitu aku bisa pergi sekarang.” Lelaki itu kemudian mengambil sebuah tas dan pergi keluar rumah. Dia berjalan menuju sebuah helikopter kecil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
”Hei, mau kemana kau?” teriak Badut kesal. ”Kami ini baru datang, paling tidak kau buatkan kami minuman.”
”Kalau kalian mau minum ambil saja di dalam rumah,” jawab lelaki itu dari kejauhan. ”Semuanya sudah tersedia di dalam rumah itu.”
”Kau mau kemana? Apa kau akan meninggalkan kami begitu saja?” tanyaku dengan suara nyaring.
”Aku harus pergi. Sama seperti penduduk di desa ini. Kalau aku tak cepat pergi nyawaku dalam bahaya. Gunung itu akan segera meletus,” jawab lelaki itu. Dia menjawab dengan suara keras sehingga kami semua bisa mendengarnya. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam helikopternya dan mulai menerbangkannya meninggalkan pulau.
”Dasar pengecut!” umpat Badut. ”Tak kusangka Tim Magma memiliki anggota seperti itu. Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
”Lebih baik kita masuk ke dalam dulu,” saranku. Kami bertiga kemudian masuk ke dalam rumah peneliti itu.
”Tapi kuharap kita tak berlama-lama di pulau ini, seperti yang dikatakan orang itu,” sahut Flame tampak khawatir.
”Kau takut, Flame?”
”Bukannya takut, tapi... ” Flame terdiam. Dia lalu menengok ke arah gunung besar di seberang sana. Aku dan Badut ikut menengok dan segera menemukan apa yang membuat Flame tampak ketakutan. Gunung itu memerah, terdengar suara gemuruh yang keras dari dalam gunung, dan sedetik kemudian... api besar keluar dari kawah gunung itu!
"Kau benar Flame, tapi ini misi kita sekarang," jawab Badut melihat ketakutan di wajah gadis itu. "Kita akan segera menyelesaikannya dan segera pergi sebelum gunung itu meluapkan kemarahannya pada kita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...