

Aku sudah sadar benar dan sekarang aku berada di ruang tamu rumah nona Spectra. Rumah ini begitu sederhana tetapi terkesan sangat damai. Aku berharap memiliki rumah seperti ini kelak.
”Anggap saja seperti rumah sendiri,” nona Spectra muncul sambil membawa dua buah cangkir. Dia duduk di depanku dan menyodorkan satu cangkir kapadaku. “Minumlah, minuman ini enak, minuman kelas atas.”
”Ah, terima kasih banyak,” ujarku menerima cangkir yang disodorkannya. ”Maaf jadi merepotkan.”
Nona Spectra menggeleng. ”Tidak, akulah yang merepotkanmu. Aku membuatmu jauh-jauh datang dari Verdanturf kesini dan juga sudah merepotkanmu untuk menolong nenekku.”
”Ah, itu kan memang sudah kewajiban saya,” jawabku merendah. ”Ngomong-ngomong, apa Nona benar tinggal disini?” tanyaku kemudian, penasaran mengapa wanita semanis nona Spectra mau tinggal di pondok kecil di tengah gunung yang sangat menyeramkan ini.
”Kenapa memangnya? Aku sudah tinggal disini sejak kecil,” jawab nona Spectra polos.
Sejak kecil? Yang benar saja! Apa... apa dia tidak takut dengan...
”Aku tahu, mungkin kamu berpikir aku wanita yang aneh tinggal seorang diri -bersama nenekku tentunya- di gunung yang penuh dengan kuburan Pokemon. Tapi itulah aku,” sambung nona Spectra seolah membaca pikiranku. ”Aku terbiasa hidup disini, bermain-main dengan Pokemon hantu.”
Pokemon hantu? Yang benar saja! Jangan bilang kalau dia punya...
”Pokemon pertamaku adalah Pokemon hantu,” sambung nona Spectra. ”Biar kuperkenalkan kamu dengan....”
”Tunggu dulu Nona, Ja...” baru saja aku akan mengatakan jangan saat nona Spectra melemparkan sebuah PokeBall dan sedetik kemudian muncullah Pokemon menyerupai boneka berwarna hitam dengan pandangan yang tajam dan deretan gigi menyerupai restleting. Bulu romaku langsung berdiri saat melihatnya dan.... ”AHH!!”
”Kamu kenapa?” tanya nona Spectra heran melihat reaksiku.
”I...itu....” jawabku bergetar sambil menunjuk Pokemon hantu yang dikeluarkan nona Spectra. Kusadari tubuhku pun ikut bergetar. ”I...itu Pokemon hantu!”
”Iya, Banette memang Pokemon hantu, apa ada masalah?” tanya nona Spectra dengan santainya.
”IYA!” jawabku spontan dengan lantang. ”Aku takut Pokemon hantu, terutama.... BANETTE!”

*
Aku dan nona Spectra berjalan ke dasar gunung. Nona Spectra mengantarkanku pergi ke dermaga kecil yang ada di dasar gunung. Aku tak bisa menggunakan Tropius untuk kembali ke Verdanturf, karena itulah nona Spectra menyarankan agar aku menumpang kapal fery kecil yang biasa digunakan para peziarah. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya kami tiba di tepi laut dengan dermaga kecil terbuat dari batu bata.
”Tidak lama lagi kapalnya akan datang, kamu bisa menumpang untuk pergi ke kota terdekat,” ujar nona Spectra. ”Untuk sementara ini izinkan aku merawat Tropius milikmu. Setelah dia sembuh benar, aku akan mengembalikannya kepadamu.”
”Baiklah, terima kasih sebelumnya,” sahutku. ”Senang berkenalan dengan Anda, Nona Spectra.”
Nona Spectra menggeleng. ”Tidak Lunar, akulah yang harus berterima kasih kepadamu. Aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Berkat kamu, nyawa nenekku terselamatkan. Aku benar-benar berhutang padamu. Andai saja ada yang bisa kulakukan untukmu.”
”Maksud Nona apa?” tanyaku tak mengerti. ”Aku menolong tanpa pamrih.”
”Bukan begitu Lunar,” sanggah nona Spectra. ”Aku merasa tidak mau berhutang budi pada seseorang. Katakan saja apa yang kau inginkan, bila aku sanggup, aku akan memberikannya padamu. Anggap saja ini balas budi dariku.”
”Nona Spectra sudah memberikan banyak untukku, tetapi....” sebenarnya aku tak mau mengatakan hal ini, tapi kemudian kupikir tak ada salahnya mencoba.
”Tetapi?” Nona Spectra tampak menunggu.
”Kalau Nona memaksa, ada sesuatu yang aku inginkan,” jawabku kemudian. ”Meski begitu kalau Nona tidak mau, bukan masalah bagiku dan juga maafkan aku bila aku bersikap lancang.”
”Baiklah, katakan saja,” sahut nona Spectra ramah.
Aku terdiam. Sesuatu yang akan kukatakan adalah sesuatu yang penting bagiku, biarpun aku tak terlalu mengharapkannya. Meski begitu aku harus mencoba. Aku kemudian menoleh ke arah nona Spectra dan menatap matanya lekat.
”Nona Spectra, maukah.... maukah....” aku tergagap, dan aku tak heran dengan itu.
”Apa?”
”Maukah... ” lanjutku. ”Maukah Nona menjadi kekasihku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...