BAB XXXV JATUH DAN BANGUN
Episode 236: Kritis
Aku terbangun di sebuah kamar berdinding putih dan berbau obat yang kutebak sebagai kamar rumah sakit. Aku mencoba duduk namun kurasakan kepalaku begitu berat.
”Kak L, jangan paksakan diri,” cegah suara yang sangat kukenal. Aku menoleh dan melihat Parmin duduk di samping tempat tidur.
”Dimana aku? Rumah sakit?”
Parmin mengangguk. ”Iya, kak L terkena tembakan es dan membeku, aku membawa kak L ke rumah sakit Mauville.”
Rumah sakit Mauville? Kenapa aku bisa ada disini? Aku lalu mencoba mengingat-ingat hal terakhir sebelum tak sadarkan diri. Parmin mengatakan aku terkena tembakan es... ya, aku kalah dalam pertarungan melawan Wallace, juara dari Hoenn. Aku kalah... dan aku gagal menemukan Groudon... aku benar-benar telah kalah...
”Dimana Profesor dan kak Lydia?” tanya pada Parmin saat seketika aku teringat pada mereka berdua. Parmin terdiam tak menjawab. Raut wajahnya menampakkan kesedihan. ”Parmin, dimana Profesor dan kak Lydia?” aku mengulangi pertanyaanku.
”Mereka ada di rumah sakit ini... tetapi keadaan mereka kritis,” jawab Parmin dengan takut-takut.
Mendengar itu aku langsung merasa bersalah. Oh, apa yang telah aku lakukan? Demi mengejar ambisiku aku telah melukai orang-orang yang aku sayangi. Profesor Hurr dan kak Lydia pastilah juga terluka dalam pertarungan itu... Aku... aku benar-benar merasa sangat bersalah...
”Aku ingin melihat mereka,” kataku sambil berusaha berdiri.
”Jangan Kak, kondisi Kakak sedang tidak baik,” cegah Parmin.
”Aku tak peduli dengan kondisiku, harusnya aku memedulikan keadaan mereka berdua.... mereka seperti ini semua karena ulahku...”
”Ba... baiklah,” Parmin tampak takut melihat sikapku. Dia lalu membantuku berdiri.
Saat menginjakkan kakiku ke lantai, kurasakan kakiku terasa begitu dingin. Rupanya efek tembakan es itu masih terasa. Parmin benar, kondisiku belum membaik... tapi kupikir akan segera kembali seperti sedia kala... karena ini bukan kali pertama aku terkena tembakan es hingga membeku. Sebelumnya aku juga pernah dibekukan oleh Tim Aqua saat masih bergabung dengan Tim Magma.
Dengan tertatih dibantu Parmin aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju tempat Profesor Hurr dan kak Lydia dirawat. Tak lama aku sampai di depan kamar kak Lydia. Aku hanya bisa melihatnya dari luar melalui jendela yang ada disana karena kondisi kak Lydia kritis dan belum bisa dibesuk. Kulihat kak Lydia terbaring di atas tempat tidur dengan begitu banyak kain tebal di tubuhnya. Kurasakan pula ruangan tersebut begitu panas saat aku menyentuhkan tanganku pada kaca jendela.
”Kakak Anda mengalami hipotermia tingkat tinggi, butuh beberapa waktu untuk mengembalikan keadaannya seperti semula,” jelas suster rumah sakit yang merawat kak Lydia saat aku menanyakan keadaannya.
”Tapi kakakku akan baik-baik saja kan Sus?” tanyaku cemas.
”Saat ini dokter tengah berusaha menurunkan suhu tubuhnya pada keadaan normal. Kami harus bergerak cepat karena dalam beberapa jam saja bila kakak Anda kehilangan suhu yang tepat untuk dapat menggerakkan organ bagian dalam tubuhnya, kakak Anda bisa meninggal dunia.”
Aku langsung shock mendengar penjelasan suster itu. Keadaan kakakku benar-benar kritis, dan semua ini terjadi karena aku. Andai saja aku tak memaksakan ambisiku untuk menangkap Groudon, pasti tidak akan seperti ini. Seharusnya waktu itu aku mendengarkan perkataan kak Lydia yang memintaku untuk tidak mencari Groudon.
Parmin lalu membantuku berjalan menuju kamar Profesor Hurr. Sama seperti kak Lydia, aku hanya bisa melihatnya dari luar. Profesor Hurr terbaring tak sadarkan diri dengan begitu banyak selang infus dan peralatan medis lainnya melilit tubuhnya. Aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi keadaan Profesor pastilah sangat parah. Kalau kutahu akan seperti ini, mungkin seharusnya waktu itu aku tak melibatkannya dalam pencarian Groudon.
”Kata dokter, Profesor mengalami pendarahan organ dalam tubuhnya,” kata Parmin menjelaskan. ”Semoga Profesor segera sembuh...”
Aku mengangguk lemah. ”Ya, aku juga berharap begitu...”
Saat aku dan Parmin tengah melihat ke dalam kamar tempat Profesor Hurr dirawat, seorang laki-laki berjalan dengan tergesa-gesa ke arah kami berdua. Saat lelaki itu sudah berada di dekatku, dia melayangkan kepalan tangannya dan...
BHUAGH!
Sebuah pukulan keras mendarat di pipiku, membuatku langsung terjatuh di lantai. Aku terkejut, begitu pula dengan Parmin. Sambil memegangi pipi kiriku yang terasa sakit, aku melihat pada lelaki yang memukulku dan ternyata dia adalah... Sammon Reaver...

Aku terbangun di sebuah kamar berdinding putih dan berbau obat yang kutebak sebagai kamar rumah sakit. Aku mencoba duduk namun kurasakan kepalaku begitu berat.
”Kak L, jangan paksakan diri,” cegah suara yang sangat kukenal. Aku menoleh dan melihat Parmin duduk di samping tempat tidur.
”Dimana aku? Rumah sakit?”
Parmin mengangguk. ”Iya, kak L terkena tembakan es dan membeku, aku membawa kak L ke rumah sakit Mauville.”
Rumah sakit Mauville? Kenapa aku bisa ada disini? Aku lalu mencoba mengingat-ingat hal terakhir sebelum tak sadarkan diri. Parmin mengatakan aku terkena tembakan es... ya, aku kalah dalam pertarungan melawan Wallace, juara dari Hoenn. Aku kalah... dan aku gagal menemukan Groudon... aku benar-benar telah kalah...
”Dimana Profesor dan kak Lydia?” tanya pada Parmin saat seketika aku teringat pada mereka berdua. Parmin terdiam tak menjawab. Raut wajahnya menampakkan kesedihan. ”Parmin, dimana Profesor dan kak Lydia?” aku mengulangi pertanyaanku.
”Mereka ada di rumah sakit ini... tetapi keadaan mereka kritis,” jawab Parmin dengan takut-takut.
Mendengar itu aku langsung merasa bersalah. Oh, apa yang telah aku lakukan? Demi mengejar ambisiku aku telah melukai orang-orang yang aku sayangi. Profesor Hurr dan kak Lydia pastilah juga terluka dalam pertarungan itu... Aku... aku benar-benar merasa sangat bersalah...
”Aku ingin melihat mereka,” kataku sambil berusaha berdiri.
”Jangan Kak, kondisi Kakak sedang tidak baik,” cegah Parmin.
”Aku tak peduli dengan kondisiku, harusnya aku memedulikan keadaan mereka berdua.... mereka seperti ini semua karena ulahku...”
”Ba... baiklah,” Parmin tampak takut melihat sikapku. Dia lalu membantuku berdiri.

Dengan tertatih dibantu Parmin aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju tempat Profesor Hurr dan kak Lydia dirawat. Tak lama aku sampai di depan kamar kak Lydia. Aku hanya bisa melihatnya dari luar melalui jendela yang ada disana karena kondisi kak Lydia kritis dan belum bisa dibesuk. Kulihat kak Lydia terbaring di atas tempat tidur dengan begitu banyak kain tebal di tubuhnya. Kurasakan pula ruangan tersebut begitu panas saat aku menyentuhkan tanganku pada kaca jendela.

”Tapi kakakku akan baik-baik saja kan Sus?” tanyaku cemas.
”Saat ini dokter tengah berusaha menurunkan suhu tubuhnya pada keadaan normal. Kami harus bergerak cepat karena dalam beberapa jam saja bila kakak Anda kehilangan suhu yang tepat untuk dapat menggerakkan organ bagian dalam tubuhnya, kakak Anda bisa meninggal dunia.”
Aku langsung shock mendengar penjelasan suster itu. Keadaan kakakku benar-benar kritis, dan semua ini terjadi karena aku. Andai saja aku tak memaksakan ambisiku untuk menangkap Groudon, pasti tidak akan seperti ini. Seharusnya waktu itu aku mendengarkan perkataan kak Lydia yang memintaku untuk tidak mencari Groudon.
Parmin lalu membantuku berjalan menuju kamar Profesor Hurr. Sama seperti kak Lydia, aku hanya bisa melihatnya dari luar. Profesor Hurr terbaring tak sadarkan diri dengan begitu banyak selang infus dan peralatan medis lainnya melilit tubuhnya. Aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi keadaan Profesor pastilah sangat parah. Kalau kutahu akan seperti ini, mungkin seharusnya waktu itu aku tak melibatkannya dalam pencarian Groudon.
”Kata dokter, Profesor mengalami pendarahan organ dalam tubuhnya,” kata Parmin menjelaskan. ”Semoga Profesor segera sembuh...”
Aku mengangguk lemah. ”Ya, aku juga berharap begitu...”
Saat aku dan Parmin tengah melihat ke dalam kamar tempat Profesor Hurr dirawat, seorang laki-laki berjalan dengan tergesa-gesa ke arah kami berdua. Saat lelaki itu sudah berada di dekatku, dia melayangkan kepalan tangannya dan...
BHUAGH!
Sebuah pukulan keras mendarat di pipiku, membuatku langsung terjatuh di lantai. Aku terkejut, begitu pula dengan Parmin. Sambil memegangi pipi kiriku yang terasa sakit, aku melihat pada lelaki yang memukulku dan ternyata dia adalah... Sammon Reaver...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...