Episode
416: Mempertanyakan Janji
Aku dan Volta berdiri bersandar di
dinding lorong rumah sakit.Di dekat kamu, Flint terduduk dengan kepala
tertunduk ditemani Scott yang ikut cemas. Kami tengah menanti pemeriksanaan
intensif yang dilakukan dokter terhadap Flame di ruang ICU.
“Aku tak menyangka, kekuatan yang
dahsyat…” komentar Volta memecah keheningan. “…bahkan bisa mengalahkan
kemampuan statisku. Aku benar-benar tidak…”
“Tutup mulutmu Volta!” sergah Flint marah. “Apa yang telah kalian lakukan membuat Flame menderita! Apa kalian tidak merasakannya!” Suasana hening kembali usai Flint meluapkan amarahnya. Volta terdiam, pun demikian denganku. Flint memandang tajam ke arah kami berdua. Tampak amarah dalam sorot matanya, sementara aku dan Volta tak berani menerima pandangannya. “Puas…. Puas? Apa kalian puas sekarang?” lanjut Flint dengan suara bergetar. Tampak air mata mulai menitik di relung pipinya. “Apa kalian sudah puas melihat wujud Flame yang sebenarnya? Wujud monster api yang mengerikan, yang bisa membunuh siapapun bahkan dirinya sendiri? Apa kalian puas?!”
“Tutup mulutmu Volta!” sergah Flint marah. “Apa yang telah kalian lakukan membuat Flame menderita! Apa kalian tidak merasakannya!” Suasana hening kembali usai Flint meluapkan amarahnya. Volta terdiam, pun demikian denganku. Flint memandang tajam ke arah kami berdua. Tampak amarah dalam sorot matanya, sementara aku dan Volta tak berani menerima pandangannya. “Puas…. Puas? Apa kalian puas sekarang?” lanjut Flint dengan suara bergetar. Tampak air mata mulai menitik di relung pipinya. “Apa kalian sudah puas melihat wujud Flame yang sebenarnya? Wujud monster api yang mengerikan, yang bisa membunuh siapapun bahkan dirinya sendiri? Apa kalian puas?!”
Suasana kembali hening. Flint mulai
menangis. Air matanya jatuh bercucuran, dan dia terisak dengan begitu sedih.
Perlahan dia duduk kembali di kursi dengan lemas. Scott yang ada di sampingnya
lantas berusaha menenangkannya dengan menyentuh bahu lelaki kribo itu. Meski
Scott tak berbicara, namun apa yang dilakukannya seolah mengatakan agar Flint
bersikap tenang. Herannya, aku dan Volta secara bersamaan menolehkan wajah
memandang Flint yang tertunduk menangis dengan kedua tangan ditempelkan di
samping kepalanya.
Saat itulah pintu ruang ICU terbuka,
membuat perhatian kami semua langsung tertuju ke arah pintu. Seorang pria
berpakaian serba putih yang pastinya seorang lantas muncul keluar dari ruangan.
“Siapa keluarga nona Flame?” Tanya sang dokter.
“Saya… saya kekasihnya Dok,” jawab Flint
serta merta berdiri menghampiri dokter. “Bagaimana keadaannya Dok? Apa Flame
baik-baik saja?”
“Tenangkan dirimu Tuan,” sahut dokter
pelan. “Flame telah selamat dari kondisi kritisnya. Dia seperti kehabisan
tenaga secara drastis karena melakukan hal yang begitu berat. Kami menemukan
keadaannya dehidrasi. Tapi sekarang kondisinya sudah stabil.”
“Syukurlah… syukurlah Dok,” ujar Flint
senang.
“Kami perkirakan dia akan segera siuman.
Jadi Tuan tidak perlu khawatir,” lanjut dokter.
“Baguslah,” celetuk Volta dengan nada
datar. Dia lalu berbalik dan berjalan menyusuri lorong meninggalkan kami. Aku
melihatnya berlalu begitu saja, kemudian perlahan berjalan mengikutinya ketika
dia sudah jauh.
*
Aku dan Volta kini telah berada di salah
satu taman yang ada di Battle Frontier. Kami duduk berseberangan, tak saling
bicara. Meski begitu, sebenarnya ada yang ingin kami bicarakan. Hanya saja,
karena ego kami masing-masing, tidak ada yang berinisiatif memulai percakapan.
Hingga akhirnya kuputuskan untuk…
“Ingatkah dengan permintaan terakhirmu
dulu, Volta?” tanyaku mengambil inisiatif. “Ingatkah di hari kau meninggalkan
Regu G dan Tim Magma? Ingatkah kau dengan pengkhianatanmu waktu itu…. Badut?!”
cecarku.
Volta tak menjawab. Dia diam. Namun
kemudian, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya ke atas, lantas memandang lurus
ke arahku. “Aku ingat Lunar… atau kupanggil… L,” jawabnya akhirnya mengeluarkan
suara. “Aku ingat apa yang aku minta waktu itu. Waktu itu aku memintamu untuk…”
“Menjaga Flame,” potongku.
”Cukup!
Aku tak punya waktu lama berbincang denganmu. Aku selalu mengira hari ini akan
datang, tapi aku tak pernah menyangka akan berakhir seperti ini. Kau bahkan
membuatku merasa sangat bersalah. Maafkan aku Lunar... maafkan aku karena telah
mengkhianati persahabatan kita. Sampaikan... sampaikan permintaan maafku pada
Flame. Katakan pada dia, jangan pernah menangisi kepergianku. Aku terlalu jahat
untuk ditangisi. Dan satu hal lagi, berjanjilah padaku... berjanjilah kau akan
selalu menjaga dan melindungi Flame. Dia adalah gadis terbaik yang pernah aku
temui. Berjanjilah....”
“Ya,” sahut Volta. “Aku memang pernah
mengatakan itu. Aku memintamu berjanji untuk menjaga Flame dengan baik. Aku takkan
pernah melupakan hari itu.”
“Kalau begitu jangan lakukan lagi,”
ujarku cepat. “Jangan lakukan lagi apa yang telah kamu lakukan padanya hari
ini. Jangan ungkit masa lalu Flame, jangan ungkit kekuatannya.” Volta diam tak
menyahut, membuatku melanjutkan ucapanku. “Bagaimana mungkin kau yang memintaku
untuk melindungi Flame, tapi kau sendiri melukainya? Konyol.”
“Lalu apa maumu?” Tanya Volta kemudian.
“Aku ingin kau berjanji,” aku menjawab
getir. “Kini giliranku untuk memintamu berjanji.”
“Apa?”
“Berjanjilah untuk tidak melibatkan
Flame… dalam konflik apapun yang terjadi di antara kita berdua.”
Volta tersenyum mendengar permintaanku.
Dia menundukkan kepalanya sejenak, lantas mendongakkannya pelan. “Maaf Lunar,”
katanya seraya memandang wajahku. “Tapi aku tidak mau berjanji.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...