Hari ujian khusus pun tiba. Empat regu peserta telah berkumpul di arena Magstadium. Kami semua berbaris di arena Magstadium sementara Tabitha berdiri di depan kami memberikan pengarahan terakhir.
”Baiklah, kalian semua akan mengikuti ujian khusus. Yang harus kalian lakukan adalah merebut bola merah dari regu lain. Siapa yang berhasil mengumpulkan bola merah paling banyak, dialah yang akan terpilih sebagai regu elit sementara regu yang telah kehilangan bola merah akan langsung gugur dalam ujian ini. Kalian mengerti?”
”Mengerti!” jawab semua anggota regu.
Tabitha tersenyum dan memberikan bola merah pada masing-masing regu. ”Baiklah, kita mulai ujiannya!” Tabitha menekan sebuah tombol remote yang ada di tangannya dan tiba-tiba saja tanah arena Magstadium di bawah regu M terbuka dan semua anggota regu M terjatuh ke dalamnya. Kemudian tanah di bawah regu A terbuka hingga tanah di bawah regu D terbuka dan sampai pada giliran kami. Tanah di bawah kami terbuka dan kami jatuh entah kemana.
Kami berhenti di sebuah tanah yang sangat lunak. Rupanya Tabitha telah menyiapkan matras untuk menangkap kami dari atas. Kami pun melihat sekeliling dan mendapati kami telah berada jauh di dalam gunung Chimney. Tampak lava gunung yang panas bergelora ada dimana-mana.
”Aku belum pernah kesini, tak kusangka Tim Magma memiliki tempat rahasia seperti ini,” komentar Badut. ”Kita harus berhati-hati.”
Kami mulai mengendap-endap mencari keberadaan regu lain. Rencana kami, kami akan langsung menyergap regu lain begitu kami menemukan keberadaan mereka. Tapi cukup lama kami mencari, belum satupun regu lain yang kami temukan.
“Tempat ini luas sekali, sepertinya kita tidak kemana-mana,” komentar Badut.
”Iya, disini sangat panas lagi,” sahutku sembil menyeka keringat di dahi. Tempat ini memang benar-benar panas layaknya sauna.
”Sepertinya Tabitha sengaja menguji kita dengan membuat kita seperti sedang direbus. Mungkin dia menguji ketahanan tubuh kita,” celetuk Flame yang tampak kegerahan. Kulihat tubuhnya berkeringat cukup banyak.
”Namanya juga ujian, yang penting jangan sampai kita dikalahkan oleh rasa panas ini hingga dengan mudah kita diserang oleh regu lain,” jawab Badut seolah-olah menjadi pemimpin. Tapi kuakui dia memang cocok menjadi pemimpin.
”Tolong.....panas....” Tiba-tiba kami mendengar suara rintihan dan erangan dari kejauhan.
Flame yang mendengarnya langsung bergidik ketakutan. ”Apa itu suara hantu penunggu gunung ini?” tanyanya takut.
”Setahuku gunung yang ada hantunya itu cuma gunung Pyre,” jawab Badut sangat tenang. Gunung Pyre adalah gunung tempat dikuburnya Pokemon-Pokemon yang telah meninggal. Sering disebut juga gunung kuburan. Tapi kuburannya tidak menyanyikan lagu Lupa-Lupa Ingat.
Badut lalu memberikan isyarat untuk mengikuti arah suara itu dengan mengendap-endap. ”Bisa saja itu jebakan musuh,” katanya. ”Sebelum mereka berhasil menjebak kita, kita jebak terlebih dahulu mereka.” Kami pun mulai mengendap-endap mencari asal suara. Rupanya suara itu berasal dari regu D. Tampak tiga orang anggota regu D terbaring di atas tanah yang keras di samping sungai lava yang panas. Mereka tampaknya kelelahan dan berdaya.
”Kalian tunggu disini, biar aku yang melihatnya,” perintah Badut. Badut berjalan mendekati ketiga Grunt yang tampak terkapar itu. Setelah yakin dengan situasi disana, dia lalu memberi isyarat pada aku dan Flame untuk mendekat. ”Mereka benar-benar payah,” katanya saat kami telah sampai di samping regu D. ”Tampaknya mereka tidak tahan dengan hawa panas dari tempat ini hingga mereka mungkin mengalami dehidrasi.”
”Pantas saja, tempat ini memang sangat panas,” celetuk Flame. ”Kita juga sebaiknya jangan berlama-lama disini kalau kita tidak mau seperti mereka.”
”Tentu, tapi kita ambil dulu bola merah dari mereka.” Badut lalu mengambil bola merah yang dipegang oleh salah satu anggota regu D. ”Bagus, kita berhasil mendapatkan satu. Tinggal dua lagi. Ayo kita pergi!”
”Tapi bagaimana dengan mereka bertiga? Apa kita tinggalkan mereka begitu saja disini?” tanyaku melihat regu D yang semuanya kini sudah pingsan.
”Dalam ujian ini mereka adalah musuh kita. Kita tak usah memikirkan mereka,” sanggah Badut.
”Tapi L benar Badut,” potong Flame. ”Kita tidak boleh membiarkan mereka sekarat disini. Mereka bisa mati.”
”Flame, kapan sih kau tak membela L?” sungut Badut tampak kesal. ”Nanti akan ada tim penolong yang membawa mereka ke atas.”
”Mereka akan segera mati sementara menunggu tim penolong,” ujar Flame kukuh.
”Baiklah, kalau itu maumu.” Badut lalu mengeluarkan sebuah pokeball dan melemparkannya ke arah regu D. Dari pokeball itu keluar Abra, Pokemon mirip rubah namun bertubuh seperti manusia kecil. ”Abra, bawa mereka ke atas. Setelah itu kembalilah kesini,” perintah Badut pada Abra. Abra mengangguk lalu memegang ketiga anggota regu D tersebut dan dalam sekejap lenyap. Rupanya Abra menggunakan teleport, kemampuan yang memungkinkan Abra untuk berpindah tempat dengan cepat. Beberapa detik kemudian Abra muncul kembali di depan kami sementara anggota regu D sudah tak ada lagi bersamanya. Badut pun mengembailkan Abra ke dalam pokeball. ”Kalian puas sekarang?” tanya Badut melihat ke arahku dan Flame.
Flame manggangguk mantap. ”Ya, sangat puas...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...