
Hari ini aku bangun kesiangan akan tetapi Melona tak mendobrak kamar untuk membangunkanku. Mungkin dia tidak melakukannya karena melihat keadaanku sekarang. Aku pun bangkit dari tempat tidurku, membersihkan diri lalu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan.
“Ah, dia sudah bangun,” kata Melona melihatku turun dari tangga.
“Way-Way-Way!” seperti biasa, Wynaut di bahunya ikut berseru menirukan ucapannya.
“Lunar, ada yang ingin bertemu denganmu,” kata Melona kemudian. Aku melihat ke ruang makan dan tampak seseorang berambut hitam panjang tengah duduk membelakangiku. Kulihat orang itu dengan seksama dan menyadari kalau orang itu adalah...
“Aku tak menyangka adikku bisa menjadi begitu terkenal, bahkan sampai mengalahkan ketenaran kakaknya,” kata wanita itu yang tak lain adalah kakakku, kak Lydia!
“Ka...kak? Kenapa datang kesini?” tanyaku terkejut.
Kak Lydia berdiri dan berbalik melihatku. “Memangnya kenapa? Aku membaca di majalah Overseas dan tampaknya penginapan ini memiliki makanan yang lezat, jadi kuputuskan untuk datang kesini, ingin membuktikan kebenaran berita yang ditulis itu... terlebih cerita tentang sepasang kekasih yang mengurus penginapan ini... disitu tertulis namanya adalah Lunar Servada!”
Oh tidak, benar yang kuperkirakan... kakakku membaca cerita itu juga! Matilah aku sekarang.
“Lunar, kenapa kau tak pernah bercerita kalau kakakmu adalah Angin Perak dari Verdanturf?” kata Melona. “Dia itu salah satu idolaku!”
“Well, seharusnya tanpa aku bercerita pun kau sudah tahu dari nama keluargaku,” sahutku singkat. “Jadi apa saja yang sudah kalian bicarakan?”
“Tak bicara banyak Lunar, Kakak hanya menanyakan keadaanmu saja pada Melona dan Kakak benar-benar tak percaya kau bisa melupakan nona Spectra dan menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain,” jawab kak Lydia tenang. “Yang membuat Kakak semakin tak percaya adalah kisah cinta kalian yang populer di majalah, benar-benar sebuah iklan yang brilian.”
“Jadi Kakak kesini ingin menjengukku?” tanyaku mencoba menyimpulkan.
“Apa salahnya kalau seorang kakak menjenguk adiknya, terlebih setelah kudengar dari Melona kalau tanganmu terbakar. Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja, kupikir Nona Melona sudah bercerita banyak,” jawabku. “Oh iya, apa Kakak sudah mencicipi masakan Nona Melona? Rasanya benar-benar lezat lho.”
“Iya, rasanya lezat,” jawab kak Lydia mengiyakan. “Kau tak salah memilih calon istri, kau pintar Lunar,” bisik kak Lydia dengan suara yang bisa didengar siapapun di ruangan itu. Melona yang mendengarnya langsung tersipu malu.
“Kakak apa-apaan sih?” protesku merasa tidak enak.
“Aku pergi dulu ya, harus membeli sayur-mayur untuk bahan memasak,” kata Melona tampak salah tingkah. “Kalian bisa melanjutkan obrolan, silakan berbincang-bincang.” Dia pun pergi berlalu ke luar penginapan.
“Kakak sih...” sungutku kesal melihat kepergian Melona.
Kak Lydia terkikik. “Aku cuma menggodanya saja,” bela kak Lydia. Dia lalu melihat ke arahku dan memandangi wajahku sambil tersenyum. “Lihatlah siapa yang berdiri di depan kakak sekarang... seorang trainer hebat yang mendapatkan kekasih hebat pula... kau terlihat begitu bahagia, sebagai kakak aku merasa ikut bahagia melihatnya.”
“Ah Kakak bisa saja,” sahutku merendah. “Aku hanya...” Ucapanku terputus saat tiba-tiba kak Lydia memelukku.
“Kamu tahu Lunar...” katanya tanpa melepaskan pelukannya. “Setelah kepergian Paman Phil, Kakak tak tahu harus berbuat apa... Kakak tak tahu apa Kakak bisa merawatmu dengan baik, memastikan kamu selalu baik-baik saja tanpa terlibat masalah. Kakak sangat menyayangimu dan melihatmu mandiri seperti sekarang ini adalah suatu kebahagiaan untuk Kakak. Kamu adalah adik kecil Kakak...
“Kakak tahu kalau Kakak tak bisa selamanya bersamamu, menjagamu selayaknya seorang Kakak,” lanjut kak Lydia dengan suara bergetar, terdengar seperti menangis pelan. “Tapi seorang laki-laki memang harus mandiri... perlahan kamu pasti akan meninggalkan Kakak dan menjalani hidupmu sendiri... menjadi apa yang kamu cita-citakan selama ini. Kakak akan selalu mendukungmu selama itu baik untukmu... Kakak pasti akan selalu ingat saat-saat kita bermain dan tumbuh bersama dulu...”
“Kakak, sebenarnya ada apa ini?” tanyaku pelan karena tak biasanya kak Lydia bersikap seperti itu.
Perlahan kak Lydia melepaskan pelukannya, meremas bahuku dan menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. “Kakak datang kesini bukan hanya ingin mengunjungimu, tapi juga ingin mengucapkan perpisahan.”
“Perpisahan? Apa maksud Kakak?” tanyaku tak mengerti.
Kak Lydia tersenyum. “Kakak akan pergi ke tempat yang jauh... Kakak akan ke Unova.”
“Ke... Unova?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...