
Aku, Guy dan seluruh penonton yang hadir di Battle Dome menatap arena pertarungan dengan sangat terkejut. Lantainya retak dengan keramik berserakan kemana-mana. Huntail tampak terkapar penuh luka tak sadarkan diri sementara Henry terbaring tertelungkup beberapa meter dari tempatnya berdiri. Darah tampak keluar dari kepalanya. Anehnya, Reaper tampak masih berdiri tegap di tempatnya seolah sama sekali tidak terkena dampak ledakan yang begitu kuat tadi.
“HENRY!!!” teriak Lavender begitu menyadari kekasihnya tak sadarkan diri di arena. Dia langsung saja berlari masuk ke dalam arena menghampiri kekasihnya itu. “Henry, kau tidak apa-apa?” tanyanya seraya membalik tubuh kekasihnya itu pelan. Dia langsung tercekat ketika melihat luka di kepala Henry. Air mata langsung menetes dari pelupuk matanya. “Henry… bangun!” sentaknya menggerak-gerakkan tubuh Henry yang tak sadarkan diri. Lavender lalu menoleh memandang Reaper dengan penuh kebencian. “Apa?! Apa yang telah kau lakukan pada Henry?!” teriaknya marah. Reaper tak menjawab. Trainer misterius itu diam saja memandang Lavender yang ada di depannya memangku kepala Henry. “Jawab aku, dasar pengecut!” bentak Lavender lagi melihat sikap diam Reaper.
“Pengecut? Berani sekali kamu menyebutku seperti itu,” sahut Reaper akhirnya bicara.
“Kenapa?! Apa bukan seorang pengecut yang beraninya menggunakan serangan ledakan untuk menyudahi pertarungan? Itu cara seorang pengecut!” bentak Lavender berurai air mata. “Lihatlah apa yang terjadi sekarang! Henry…. Henry…”
“Kalau tidak siap dengan resiko seperti ini lebih baik tidak usah bertarung Pokemon,” potong Reaper tegas. “Ledakan adalah salah satu strategi dalam pertarungan Pokemon, dan tidak ada peraturan yang melarang penggunaan serangan itu disini. Jadi jangan merengek seperti anak kecil yang baru saja mendapat Pokemon pertamanya!”
Reaper menatap dingin ke arah Lavender yang tengah terisak, lalu berbalik membelakanginya seraya berjalan pergi. Melihat itu Lavender langsung bangkit berdiri dan memandang punggung Reaper tajam.
“REAPER!” teriaknya keras, membuat Reaper menghentikan langkahnya. “Reaper atau siapapun kau…” sambung Lavender saat Reaper berhenti melangkah. “Aku takkan pernah memaafkanmu bila sesuatu yang buruk terjadi pada Henry! Camkan itu baik-baik!”
“Terserah…” dengus Reaper seraya kembali berjalan pelan meninggalkan arena.
Lavender menatap kepergian sosok misterius yang telah mengalahkan kekasihnya itu dengan pandangan penuh amarah. Sementara para penonton termasuk diriku terdiam melihat kejadian tersebut. Tak terkecuali Flame yang ikut-ikutan tercengang. Akhirnya juri Frontier Festival itu tersadar dan langsung mengambil kembali mikroponnya yang tadi terjatuh ketika terjadi ledakan.
“Huntail tidak dapat melanjutkan pertarungan… Pemenangnya adalah Reaper!!!”
*
Lavender tampak menunggui Henry saat aku, Guy, Flame, Darko, dan Flint memasuki kamar tempat Henry dirawat. Gadis berambut hitam lurus itu tampak terduduk sedih memandangi wajah kekasihnya yang sedari tadi belum juga sadar di tempat tidur.
“Bagaimana keadaan Henry?” tanyaku mencoba berbasa-basi.
“Kata dokter dia mengalami luka di bagian kepala akibat terantuk lantai arena,” jawab Lavender pelan. “Ledakan itu membuatnya terlempar dan menghantam lantai dengan keras. Dokter telah mengobatinya, sekarang tinggal menunggu kesadaran Henry saja.”
“Kami semua ikut sedih dengan kejadian ini,” kata Flame menyampaikan kesedihannya. “Aku sangat terkejut dan tidak menyangka Reaper akan melakukan serangan seperti itu.”
“Dia sangat tidak terduga, aku semakin penasaran dengannya,” sahut Guy.
“Kupikir hanya aku saja yang penasaran siapa dia sebenarnya, ternyata kau pun juga begitu,” celetuk Darko.
“Siapapun dia… dia telah melukai Henry,” kata Lavender kemudian. Suasana langsung berubah hening. “Aku… aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Henry. Karena bila itu terjadi, maka aku akan merasa sangat bersalah,” sambung Lavender dengan nada bergetar. Gadis yang telah kukalahkan di perdelapan final itu mulai menangis perlahan. “Kalau saja… kalau saja aku tidak memaksanya datang kesini, ini pasti tidak akan terjadi,” isaknya.
Flame mendekati Lavender perlahan. Dia lalu memegang kedua bahu Lavender dan berbisik lirih, “Sudahlah Lavender, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu. Henry datang kesini karena ingin membuatmu bahagia. Dan dia pasti akan merasa bahagia bila kamu pun bahagia. Jadi jangan sesali hal ini.”
“Iya… aku tahu itu…” sahut Lavender sembari menghapus air matanya. Dia lalu menoleh melihat Flame dan memaksakan sebuah senyum. “Terima kasih kak Flame… aku merasa lebih baik sekarang.”
Flame balas tersenyum. “Kalau begitu sekarang mari kita bersama-sama berdoa, berharap agar Henry bisa segera sadar untuk bisa melhat senyummu itu,” katanya menasehati.
Lavender mengangguk. Dia lalu kembali memandang wajah Henry dengan tatapan sayu seraya memegang lembut pipi kekasihnya itu. “Henry… cepatlah bangun… aku rindu suaramu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...