Episode 15: Tertangkap Tim Magma
Aku terbangun di sebuah ruangan pengap yang hawanya cukup panas. Aku terduduk di atas sebuah tempat tidur dengan kedua tangan dan kakiku terikat besi pada kedua tepi tempat tidur sementara tubuhku tersandar di dinding yang terbuat dari tanah keras. Kulihat seorang gadis manis dengan rambut depan berwarna merah di sebelah kanan tempat tidur.
”Di...dimana aku?” tanyaku panik. ”Kenapa aku bisa ada disini?”
”Kamu sudah sadar rupanya,” ujar gadis itu. ”Kamu sekarang berada di dalam markas rahasia Tim Magma,” jawab gadis itu.
”Apa katamu?” aku terkejut. ”Di markas Tim Magma? Siapa itu Tim Magma? Dan siapa kamu?” cercaku. Gadis itu terdiam dan tak menjawab. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan. ”Hei!” teriakku. ”Kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku!” Tapi gadis itu tetap berjalan keluar ruangan. Kini ia meninggalkanku sendiri di dalam ruangan.
Aku menghela nafas panjang dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi terakhir kali. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingatnya, dimana aku mengikuti seseorang dengan pakaian berwarna merah yang masuk ke dalam sebuah dinding gunung. Dan saat itulah aku merasakan sengatan di tubuhku yang membuatku tak sadar. Itulah hal terakhir yang kuingat. Jadi aku tertangkap oleh mereka? Mereka yang disebut Tim Magma? Siapa Tim Magma? Oh, begitu banyak pertanyaan, tapi yang pasti semoga semuanya akan baik-baik saja.
Tak lama masuklah seorang lelaki berambut merah dengan baju berwarna perpaduan merah dan hitam. Lelaki itu tampaknya seusia dengan ayahku bila ayahku masih hidup. Di belakang lelaki itu ada dua orang lelaki berpakaian merah hitam dengan tudung bertanduk yang menutupi sebagian kepala mereka.
”Apa kabar Nak?” tanya lelaki berambut merah. ”Tak kusangka kau berani memata-matai kami. Apa kau ini mata-mata Tim Aqua?” tanyanya lagi. Siapa lagi itu Tim Aqua, pikirku. Aku diam saja, bingung harus menjawab apa karena aku memang tak tahu apa yang dia bicarakan. ”Aku menunggu jawabanmu Nak!” ujar lelaki itu dengan nada lebih keras.
”Um...aku tak tahu apa-apa tentang Tim Aqua apalagi tentang kalian. Siapa kalian ini sebenarnya?” jawabku balik bertanya.
“Jangan bercanda Nak,” sahut lelaki itu. ”Kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa rupanya, ....baiklah, lebih baik kuperkenalkan diriku dulu. Namaku Maxie, pemimpin Tim Magma.”
Maxie? Pemimpin Tim Magma? ”Aku....aku benar-benar tak mengenal kalian,” belaku.
”Jangan berlagak bodoh! Kau mencoba menutupi penyamaranmu ya?” tanya Maxie kasar. ”Sebelumnya aku minta maaf kalau aku agak kasar padamu, aku terlalu banyak masalah saat ini apalagi harus berurusan denganmu,” ujarnya dengan raut muka sedih, berbeda dengan raut muka sebelumnya yang tampak marah. ”Nak, kalau kau jujur, kami tak akan melukaimu. Kami hanya butuh kerjasama saja.”
”Aku benar-benar tak tahu, aku ini Cuma pelatih Pokemon biasa!” aku berusaha menjawab sejujurnya. Memang itu yang sejujurnya.
”Lalu kenapa kau menguntit anak buahku dan mengendap-endap di depan markasku?”
”Aku hanya penasaran, karena itu aku mengikuti anak buahmu mungkin, dan aku melihat dinding gunung yang terbuka,” kataku mencoba meyakinkan lelaki bernama Maxie itu.
”Kau sudah mengatakan yang sejujurnya?” tanya Maxie. Aku menggangguk. ”Baiklah, Tabitha,” Maxie berkata pada seorang lelaki bertudung yang ada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil Tabitha lalu memberikan sebuah benda kecil kepadanya. ”Kita lihat apa kau sudah berkata sejujurnya,” Maxie menyeringai mengerikan. Aku tak tahu maksud perkataannya namun saat dia menekan benda kecil itu, tiba-tiba tubuhku terasa tersengat aliran listrik. Rasanya sangat menyakitkan hingga aku meronta menahan sakit. Rupanya tempat tidur itu adalah tempat tidur listrik. Listrik mengalir melalui besi-besi yang mengikat tangan dan kakiku.
”Arrgh!” rontaku kesakitan.
Tiba-tiba saja aliran listrik berhenti. Maxie lalu berjalan mendekatiku. ”Sekarang coba katakan siapa dirimu ini sebenarnya?” tanyanya dengan lembut. Pertanyaannya benar-benar menakutkan.
”A...aku cuma pelatih ..... Pokemon.....” jawabku terengah-engah karena masih merasakan rasa sakit akibat sengatan tadi. Sesaat setelah mengatakan itu tiba-tiba saja aku kembali merasakan sengatan listrik. Kali ini lebih menyakitkan dari yang pertama. ”Arrghh!!!” aku meronta sangat keras seolah pita suaraku akan hancur. Dan sedetik kemudian sengatan itu menghilang.
”Aku bisa lebih kasar lagi kalau kau tak mau bekerjasama,” ujar Maxie. ”Baiklah, kau berasal darimana?”
”Ver.....verdan.....turf....” jawabku terbata-bata.
“Verdanturf? Kau mencoba mengarang ya? Baiklah, sekarang coba rasakan yang ini.” Maxie hendak menekan benda kecil pengendali tempat tidur listrik itu saat tiba-tiba gadis berambut depan warna merah yang tadi duduk di sebelahku masuk ke dalam ruangan.
”Tunggu Paman Maxie!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...