
Aku mengamati rumah kayu yang terbakar itu dengan seksama, berusaha mencari celah untuk bisa memasukinya. Aku harus bertindak cepat karena nyawa seseorang dalam bahaya.
”Obalie, tembakan air ke sebelah sana!” perintahku sambil menunjuk sisi rumah yang tampak rapuh. Obalie mengeluarkan tembakan airnya yang memadamkan api disana, memberikan ruang bagiku untuk bisa masuk ke dalam rumah. Meski begitu tidak ada jalan masuk, membuatku terpaksa mendobrak dinding kayu itu.
”Lunar, lakukanlah sekarang atau tidak sama sekali!” ujarku menyemangati diriku sendiri. Obalie melompat ke bahuku dan aku mengambil langkah jauh kemudian langsung berlari cepat menerjang dinding kayu rumah tersebut. Aku berhasil mendobrak dinding kayu tersebut dan sekarang aku berada di dalam rumah yang telah dipenuhi api. Kulihat atap-atapnya mulai berjatuhan, membuatku harus cepat sebelum aku sendiri tertimpa blok-blok kayu itu.
”Hei! Apa ada orang? Aku datang untuk menolong.” Aku memandang sekeliling, mencari seseorang yang mungkin terjebak di dalam rumah. Aku bergerak sambil menghindari beberapa jilatan api di dalam rumah kayu yang besar itu. Kemudian samar-samar kudengar suara rintihan wanita tua. Aku mendatangi asal suara dan mendapati seorang nenek terbaring di lantai tampak kesulitan bernafas.
”Nenek, jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu,” ujarku saat berada di dekat nenek itu. Nenek itu tak menjawab, hanya terbatuk-batuk. Dalam kebakaran seperti ini wajar bila seseorang akan kesulitan bernafas, aku pun akan bernasib sama kalau tidak segera pergi dari rumah ini.
Tiba-tiba kurasakan sakit di kepalaku. Sial, kenapa rasa sakitku harus datang di saat-saat seperti ini? Tak bisakah menunggu sampai aku membawa keluar nenek ini? Aku tak peduli, aku akan tetap berusaha bertahan tak menghiraukan rasa sakit ini. Bagaimanapun nyawa seseorang, tidak... nyawa dua orang termasuk aku dalam bahaya kalau tidak segera keluar dari sini!
BRAK!!
Mendadak sebuah balok kayu besar terjatuh dari atap. Beruntung kayu itu tidak mengenai kami. Tapi bukan hanya balok itu saja yang terjatuh, karena sejurus kemudian beberapa balok jatuh seolah berniat mengubur kami. Sebuah balok besar bahkan jatuh dan siap menimpa aku dan nenek itu kalau saja aku tidak...
”Tropius, keluarlah! Gunakan perisai pelindung!” aku mengeluarkan Tropius cepat dan langsung memberi perintah. Tropius tampak terkejut berada di tengah kobaran api tetapi dia tetap melakukan perintahku dengan cepat dengan menciptakan perisai pelindung, membuat balok kayu itu tidak mengenai kami. Sama seperti Ninjask, bagi Tropius yang bertipe rumput dan terbang, api adalah hal yang sangat ditakuti. Kenapa aku punya dua Pokemon yang begitu lemah terhadap api ya?
(Komentar Tropius, ”Kalau kamu tahu aku sangat lemah sama api, jangan keluarkan aku di tengah-tengah api seperti ini dong! Kamu mau bunuh aku?”)
”Baiklah Tropius, maaf telah mengeluarkanmu di tempat seperti ini, tetapi kita harus segera pergi.” Aku membopong tubuh nenek itu dan meletakkannya di punggung Tropius kemudian aku sendiri naik ke atas Tropius. Jalan tempatku masuk tadi telah tertutup reruntuhan sehingga mau tak mau aku harus mencari jalan keluar lain dan kupikir kami akan keluar lewat celah atap.
”Obalie, tembakan air ke sana!” perintahku pada Obalie yang masih setia menempel di bahuku. Obalie kembali menembakkan garis air pada celah atap yang kutunjuk. Api disana telah lenyap, menimbulkan sebuah celah sempit namun aku yakin bisa kuterobos bersama dengan Tropius.
”Tropius, terbang sekarang!” Aku langsung memerintahkan Tropius untuk terbang dan kami segera terbang bersiap menerobos celah atap tersebut. ”Tropius, perisai pelindung!” perintahku lagi tepat sebelum kami menabrak celah tersebut. Tropius membentuk perisai pelindung dan dengan sekuat tenaga dia menghancurkan atap yang telah reyot karena terbakar itu. Kami pun kini melayang di atas rumah yang terbakar tersebut.
Perlahan aku mencari tempat aman dari udara dan kemudian memerintahkan Tropius untuk mendarat tak jauh dari rumah yang terbakar tersebut. Baru saja kami menginjakkan kaki di atas tanah, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh yang sangat keras dan ketika aku menoleh rupanya rumah kayu besar itu kini telah runtuh semuanya rata dengan tanah. Kami beruntung bisa keluar tepat waktu.
Aku menurunkan tubuh nenek itu ke atas tanah, berusaha memberi pertolongan pertama tetapi rasa sakit di kepalaku telah memuncak dan perlahan kurasakan tubuhku mulai terasa panas. Sial, demam itu lagi!
”Dasar bocah pengganggu!” terdengar suara seorang lelaki yang berat di belakangku. Aku menoleh dan mendapati sesosok tubuh dengan jubah serba hitam berdiri disana. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup tudung jubah yang dikenakannya.
”Si... siapa kau? Ap... apa yang kau lakukan...?” tanyaku tergagap. Di sisi lain aku tak bisa mengendalikan rasa sakit yang menyerang tubuhku sehingga aku tak bisa fokus melihat orang tersebut.
”Siapa aku tak penting, tetapi kau telah menggagalkan rencanaku,” jawab lelaki misterius itu. ”Dan hukuman bagi pengganggu sepertimu adalah.... MATI!”
Mendadak kulihat sebuah bola api besar melesat cepat ke arahku. Rasa sakit sang sangat membuatku tak berkutik dan sebelum bola api besar itu mengenaiku, aku telah terlebih dulu jatuh pingsan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda sopan, Sandslash pun segan...